Rabu, 06 Februari 2008

Ketika Tuhan Kirim Orang2 Bermasalah

Saya bukanlah orang yang bisa dengan mudah mencurahkan perasaan saya entah hanya sekedar curhat ataupun untuk menegur orang lain. Tapi di lain waktu, ketidakseimbangan saya akan tampak ketika temperamen saya buruk. Dan ketika saya masuk dalam dunia rumah tangga...terjadilah konflik batin ketika orang2 yang menumpang memerlukan teguran atas kebiasaan buruk dan karakter mereka. Jika kebetulan keluarga dari pihak suami, maka tingkat keseganan saya akan sangat tinggi, jika dari pihak saya...masih mendingan, meskipun butuh pergumulan untuk menemukan formula komunikasi yang tepat dengan mereka. Maksudnya menegur tanpa menimbulkan amarah tapi sampai pada tujuan.
Bagi orang yang suka blak-blakan, rasanya menegur bukanlah suatu masalah, tapi bagi saya? Ini menjadi sekolah karakter bagi saya dan orang2 yang ada di sekitar saya. Berikut pelajaran-pelajaran yang Tuhan berikan dengan mengirimkan orang2 bermasalah dalam rumah tangga kami :
1. Teladan Lebih Berdampak Daripada Bicara
Pengasuh anak kami masih saudara tua dari suami. Dia memiliki kebiasaan mengucapkan kalimat yang sia-sia. Salah satunya "sialan". Pokoknya sedikit2 bilang "sialan". Saya takut sekali, kalau anak saya terkontaminasi kata itu, dan dengan mulut cadelnya dia ucapkan kalimat pertama yang "sialan" itu. Beberapa kali saya menegurnya dengan cara yang halus, dia malah tertawa..."Halah,anak loe kan masih kecil Ris, blon bisa ngomong, sante aje, cuma kebiasaan gw kok!".. Ya... memang cuma kebiasaan, tapi ini menyiksa perasaan saya. Yang menjadi impian saya, setidaknya rumah itu jadi tempat steril dari perkataan2 atau teladan2 negativ bagi anak2. Posisi yang sulit bagi orang muda seperti saya, untunglah saya diingatkan pada ayat FT yang berbunyi :

1Timotius 4:12 Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.
Ya, tak ada pilihan lain selain senantiasa hidup di dalam otoritas Allah. Menjadi suratan yang terbuka agar si pengasuh yang masih saudara ini melihat banyak hal yang positif jika kita berbicara positiv. Hasilnya? di luar dugaan.. makin hari makin berkurang kebiasaannya mengutuki diri dengan kalimat "sialan" dan kata2 busuk yang lainnya. Dan harapan saya agar rumah steril dari kata yang sia-sia Terkabul sudah.
2. Belajar Bicara Bukan Mengomel
Lain soal "sialan" lain pula dengan saudara lain yang menumpang. Dia punya kebiasaan yang agak kurang higinis. Saya bingung sekali mau menegurnya, karena dia sangat pendiam dan agak sulit diajak berinteraksi. Saya takut kalau menegurnya akan membuatnya tersinggung. Output apa yang saya hasilkan? Saya ngomel sendirian. Habis energi saya untuk mengomel, tidak ada hasil positiv dari sana. Roh Kudus pun berperan untuk mengingatkan sesuatu hal :
1Thesalonika 5:14 Kami juga menasihati kamu, saudara-saudara, tegorlah mereka yang hidup dengan tidak tertib, hiburlah mereka yang tawar hati, belalah mereka yang lemah, sabarlah terhadap semua orang.
Dengan pimpinan Roh Kudus, akhirnya saya benar-benar belajar "berbicara" bukan mengomel. Mengomel tidak menghasilkan perubahan, tapi teguran (bicara/ berkomunikasi) dari hati ke hati (sabar dan lemah lembut), bisa membawa perubahan yang cukup berarti.
3. Mengandalkan Hikmat Tuhan bukan Hikmat Manusia
Job 12:13 Tetapi pada Allahlah hikmat dan kekuatan, Dialah yang mempunyai pertimbangan dan pengertian.
Ro 11:25 Sebab, saudara-saudara, supaya kamu jangan menganggap dirimu pandai
Ketika saya diperhadapkan pada pilihan-pilihan antara menegur atau tidak, saya juga diperhadapkan pada pilihan : apakah keadaan buruk itu akan berubah atau tidak. Tapi bagi saya tidak mudah untuk memutuskan menegur karena saya kenal siapa saya. Sekalipun saya sensitiv dan pendiam, tapi memiliki kelemahan dalam berkata2 lembut. Saya lebih suka to the point jika sudah terdesak. Efeknya : pasti banyak orang yang terluka. Saya rindu, kalau menegur orang itu seperti Tuhan menegur saya, yaitu : mencapai sasaran tanpa membuat saya merasa terdepak dari hadapanNYA.
Percaya atau tidak, untuk urusan menegur keponakan saya yang punya bad habit itu, saya harus berdoa mohon penyertaan Allah, agar sampai pada tujuan tanpa membuat dia terluka. Hm.. jadi selama ini masalah komunikasi saya terjadi karena saya menganggap bahwa sikap saya sudah benar dan tidak perlu lagi penyertaan Allah.
4. Sekolah Karakter Yang Gratis
Ketika mendapati ketrampilan baru dalam berkomunikasi, saya bersyukur Tuhan telah mengirimkan orang-orang yang bermasalah (baca : Menyebalkan) itu dalam hidup dan kehidupan saya. Karena dari mereka mau tidak mau ada pembenahan diri baik dari segi cara berkomunikasi, bertingkah laku, dan berhikmat.
Karena :
Pr 27:17 Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya.
bisa dan sah-sah saja kalau kita memilih untuk tetap pada sikap dan cara pikir yang semula, tapi.. rugi ya.. dah kita dibuat BeTe dengan kehadiran orang2 bermasalah, lantas kita gak dapat apa2 yang positif..

Ternyata, untuk menjadi berhikmat dan bijaksana perlu latihan dan alat-alat peraga. Orang-orang yang menurut kita menyebalkan itu adalah alat-alat peragaNYA Tuhan agar kita bisa mengalami perubahan karakter.

Untuk berhikmat dan bijaksana, diperlukan waktu yang terus menerus

Untuk berhikmat dan bijaksana, perlu memiliki hati yang rela menjadi murid yang rela diajar dan belajar dari Maha Guru, yaitu Yesus Kristus.

Kiranya Roh Kudus memampukan kita memahami signal-signal yang Tuhan kirimkan untuk kita memperbaiki diri menuju kesempurnaan karakter dalam Kristus. Juga memberikan kita semangat dan kesediaan untuk belajar memahami bahwa alat peragaNYA ada dimana-mana termasuk dalam pribadi-pribadi yang butuh disentuh (baca : bermasalah / menyebalkan)

Selamat Belajar, kiranya Hikmat Allah ada bersama-sama dengan kita.


1 komentar:

blogecahayu mengatakan...

Bisa aja cari ide buat nulis. Tulisan yang down to earth. Sebuah realita bahwasanya kita dan segala yang ada di sekeliling kita adalah alat peraga untuk menyempurnakan kita