Minggu, 03 Agustus 2014

Ada Amin ??



Ibadah pagi di sebuah Gereja Kharismatik :.

Pembicara :”Ada Amin Saudara-saudara?”
Beberapa jemaat menjawab ada yang antusias ada pula yang terpaksa menjawab “Amin”
Pembicara :” Kalau saudara ingin diberkati, aminkan dengan semangat Firman Tuhan. Ada Amin saudara-saudara?
Jemaat masih saja suam, meskipun jumlah suara sudah mulai bertambah banyak
P : “Ada Amin saudara-saudara?”
Seorang anak kecil dengan lantang menjawab,”Tidak ada Pak Pendeta!! Amin beragama Islam jadi dia beribadah di Masjid sebelah!”

Cerita tersebut pernah terjadi di sebuah gereja kecil di suatu tempat yang tidak perlu saya sebutkan. Namun pertanyaan “Ada Amin?” sudah menjadi wabah yang kadang sulit dinalar. Saya bukan anti mengucapkan “amin”. Ketika saya diberkati melalui perkataan ataupun tulisan dengan spontan dan antusias pasti terucap “amin” dari mulut saya.. Tetapi ketika saya belum mengerti tentang kotbah yang sedang dijabarkan, saya lebih baik berdiam, merenung, dan  meminta Roh Kudus untuk membuat saya mengerti.

Saya tidak tahu apa yang menjadi dasar pertanyaan “ada amin” yang berkali-kali dalam sebuah kotbah. Terkadang, jujur saya merasa terganggu dengan pertanyaan itu. Terganggu karena saya sedang mencoba merenungkan kata demi kata yang keluar melalui Pengkotbah.

Namun saya berusaha memahami, mungkin Hamba Tuhan tersebut ingin membangun suasana, supaya jemaat tidak mengantuk, dsb. Tapi sekali lagi, perlukah jemaat “dipaksa” mengaminkan sesuatu yang mungkin saja belum mereka tangkap dengan baik?

Bagi saya tugas seorang Pengkhotbah adalah mewakili Tuhan untuk “menyuapi” domba-domba-NYA. Si Domba ada yang sudah dewasa dan cepat tanggap ada pula yang masih kanak-kanak yang perlu mengunyah, mencerna, dan memamah biak makanan yang diberikan. Domba-domba yang sudah “klik” dengan apa yang disampaikan pengkhotbah akan dengan mudah mengaminkan Firman Tuhan yang disampaikan. Sedangkan domba kanak-kanak yang mesti mengunyah, mencerna yaa…perlu waktu untuk mengatakan,”Amin. Terima kasih Tuhan”

Ibadah yang hidup bukan soal seberapa ramai paduan suara yang mengatakan,”Amin” Ibadah yang hidup adalah ibadah yang antusias dan memberikan dampak dalam kehidupan sehari-hari. Karena kehidupan Kekristenan yang sesungguhnya terjadi di luar gereja. Ketika seseorang hidup dalam kesehariannya dengan orang-orang yang berbeda ragam.

Bukankah lebih bijak ketika Jemaat  “dingin” dalam mengucapkan “amin”  para pengkhotbah menanyakan,”Apakah Bapak Ibu Saudara sekalian sudah mengerti apa yang saya sampaikan? Kalau bingung yang mana yang membingungkan?” Saya yakin hamba-hamba Tuhan juga dibekali kepekaan untuk membaca situasi hati jemaat yang sedang dilayani.

Ketika jemaat diam, mungkin saja mereka ngantuk…(berusahalah untuk menjadi pengkotbah yang tidak menjemukan)
Ketika Jemaat diam, mungkin saja mereka mengunyah dan mencerna makanan yang sedang disajikan.
Ketika Jemaat diam, mungkin saja mereka bingung dengan apa yang sedang Bapak / Ibu bicarakan (jadi…gunakan hikmat Allah untuk berkata-kata dalam bahasa yang bisa dimengerti)
Ketika Jemaat diam….bisa jadi mereka tengah meresapi, merenungkan, dan tengah sibuk menanam dalam-dalam benih Firman Tuhan yang disemai.

Jadi…jangan pernah mengintimidasi Jemaat yang sedang berat “mengaminkan” sesuatu. Karena untuk segala sesuatu ada alasan dan penyebabnya. Teruslah menabur, teruslah menyuapi domba-domba, tentang tuaian…Tuhan yang atur. Haleluya !!

28 Juli 2014