Kamis, 29 Desember 2011

Setia Hingga Akhir Waktu

Juli 2009
Tak ada yang berubah dengan rumah yang sering disebut ibu Loji Pastoral itu. Masih tetap tertata rapi, bersih, nyaman, dan sejuk. Semilir angin dari perkebunan tebu di sekelilingnya masih menghantarkan harmoni yang indah. Pepohonan tua yang menjadi pembatas jalan pun masih kokoh berdiri tak lapuk digerus musim yang silih berganti.

Sudah lama aku berdiam di beranda yang menghubungkan Gereja dengan Pastori. Membiarkan angin memainkan anak rambutku dan memanjakan imajinasiku menikmati kepingan kenangan yang tertinggal dan akan selalu tertinggal di sana.

“Wooh, anak wedok. Kapan lehmu teko?” (Wah, anak perempuanku, kapan kamu datang?) suara yang lembut dan khas itu mengusik gendang telingaku yang sedari tadi menikmati simphoni alam.

Untuk kesekian kali aku speechless, sebutan “anak wedok” itu masih diberikan padaku. Aku segera menoleh ke sumber suara dan mendapati dua orang yang sangat aku kasihi, Om Yohanes dan Tante Hanna, sudah berdiri di sebelah pintu samping pastori menyongsong kami.

Ah, pasti semua orang yang pernah bertemu dengan beliau merasa diistimewakan. Aku yakin, masing-masing anak rohaninya memiliki julukan yang menyejukkan hati.

Seketika hatiku diliputi keharuan, mataku berkaca-kaca namun kutahan sekuat hati untuk tidak menangis. Mataku nanar menatap sosok Om Yo yang sudah jauh berbeda dengan tahun-tahun lalu.

Tahun-tahun ketika beliau sengaja menunggu kami anak-anak Ngunut yang bersekolah di Tulungagung di perempatan Jepun sepulang pelayanan perintisan, supaya kami bisa pulang bersama-sama dengan mobil pastori.

Sosok yang mengajar tentang betapa penting dan dahsyatnya doa. Sosok yang selalu sigap dan tangkas membantu dan melayani orang lain. Pribadi yang telah dipakai-Nya menjadi alat peraga bahwa mekipun kelembutan itu terlihat lemah, namun memiliki daya yang besar untuk melakukan banyak perubahan..

Segera kusambut tangan mereka yang terulur. Dengan penuh rasa takzim kucium punggung tangan mereka yang keriput dimakan usia. Kau tahu, sebenarnya yang ingin kulakukan lebih dari itu. Aku ingin sekali menghambur dalam pelukan mereka, orangtua kedua yang sangat aku hormati seperti aku menghormati ayah dan ibu kandungku.

“Apa kabar, Om, Tante?”Tanya ku

“Sehat, kapan leh mu teko?”

“Kemarin! Om sakit? Kok pucat? Kurus lagi!” berondongku. Aaah..mulutku memang seringkali terlalu cepat bereaksi.

Om Yo tertawa,”Tidak, aku sehat kok! Hanya sedikit gangguan dengan pembuluh darah balik ke jantung, jadi mesti mengenakan stocking yang ketat untuk mengatasinya!”

Kami terlibat perbincangan seru waktu itu. Om dan Tante selalu antusias mendengar cerita-cerita dari kami anak-anak yang baru saja pulang merantau. Ini yang selalu membuat kami merasa “pulang” ketika berkunjung ke Pastori.

Dan ketika Om Yohanes menanyakan kabar Bapakku, barulah aku ingat bahwa selain untuk mengunjungi mereka, aku dimintai tolong oleh bapak untuk memintakan pelayanan kunjungan bagi beliau karena sedang sakit.

“Baiklah, nanti aku akan kesana setelah driver gereja sampai, ya?” kata beliau mengiyakan.

“Hm..kalau Om sedang sakit, pelayanan kunjungan didelegasikan saja, Om! Jangan memaksakan diri.” Lagi pintaku

“Gak, aku sehat. Aku yo ora marem lek ora nglayani dhewe. Apik gak apik keadaanku, tugasku lhak memberitakan kabar baik. Iya to?”jawab beliau (Tidak, aku sehat. Aku ya tidak puas jika tidak melayani sendiri. Baik tidak baik keadaanku, tugasku kan memberitakan kabar baik. Iya, kan?)

“Iya, tapi…” belum selesai aku berbicara, beliau memotong,”Sudah, kamu pulang dulu. Bapak pasti sangat membutuhkanmu. Nanti aku pasti datang.”

Tepat seperti yang dijanjikan, Om Yo datang bersama ketua Rayon Lk. V, juga dengan driver gereja ke rumahku. Ketika hendak menapaki anak tangga di teras rumahku, aku mencoba menggandengnya. Beliau tak menolak, namun tersenyum dan berkata,”Aku masih kuat dan baik-baik saja!”

Biarpun tubuhnya tampak lebih ringkih, namun kobaran api dalam hatinya masih tetap sama. Api itu yang membuatnya seolah memiliki tabung tenaga cadangan menaklukkan kelemahan usia senjanya. Bahkan kelemahlembutan beliau tak sanggup menutupi kobaran semangat yang mendidih di hatinya.

“Wah, Bapakmu panjang usia ya, Ris? Sekarang saja sudah hampir 90. Aku saja tidak tahu apakah masih bisa ikut menyambut tahun baru atau tidak.”kata Om Yo.

“Deg……” dadaku seperti habis dipukul benda berat mendengar pernyataan ringan beliau. Sebenarnya aku ingin sekali protes dengan kalimat pesimis yang baru sekali ini beliau ucapkan. Tapi aku merasa sudah cukup tua untuk protes seperti anak-anak.

“Pasti bisa Om. Karena Tuhan pasti memberikan umur yang panjang untuk Om Yohanes!” tukasku setelah perasaannku tertata.

“Amin, suwun pandongane. Bagiku bukan soal berapa lama kita hidup di bumi ini, tapi bagaimana kita mengisi hidup yang Tuhan sudah karuniakan kepada kita. Tetaplah melayani Tuhan dengan apa yang kamu bisa, Ndhuk!” jawab beliau sembari berpamitan meninggalkan perasaan haru, rindu, juga sedih.




28 Desember 2009
Hari-hari terakhir menjelang pergantian tahun. Aku menjenguk percakapan lintas kota dan benua melalu milis kami. Ada berita yang cukup menghenyakkanku, bahwa seorang pendeta dari daerahku membutuhkan donor darah dan sedang dirawat di sebuah Rumah Sakit ibukota. Semula aku pikir kebetulan saja namanya sama dan dari daerah yang sama. Namun ketika contact person yang dicantumkan pengirim berita juga sama dengan nama putra sulung beliau, rasanya aku tidak bisa mengatakan hal itu sebuah kebetulan.

Dari perbincanganku dengan Putra Sulungnya, Yonathan, aku mengetahui keadaan beliau. Masih dirawat di ICU meskipun persediaan darah sudah mencukupi. Berhubung belum bisa dijenguk, aku hanya bisa menitipkan salamku kepada beliau. Dan mengatur rencana untuk membezuk beliau ketika sudah di ruang perawatan.

Dalam doa malamku kubawa harapanku tentang kesembuhan beliau. Dalam kepasrahanku aku terus mengharapkan mujizat besar terjadi. Aku yakin bukan hanya aku yang berdoa, para sidang jemaat, hamba-hamba Tuhan yang lainnya pasti ikut mendoakan beliau.

Namun kedaulatan Tuhan menentukan keputusan yang lain dari apa yang kami harapkan. Tepat di tanggal 29 Desember 2009 pukul 08.30, Tuhan Yesus membawa pergi Pahlawan Salib terbaik yang pernah kami miliki. Meninggalkan duka juga rasa kehilangan yang mendalam.

Tidak ada yang benar-benar siap kehilangan orang yang kita kasihi, meskipun secara implisit Tuhan sudah memberikan beberapa tanda. Tidak ada yang benar-benar siap kehilangan orang yang kita kasihi, meskipun kita semua menyadari bahwa semua orang toh bakal meninggal.

Hari ini, 29 Desember 2011, tepat 2 tahun sudah Om Yohanes (gembala kecil dari Padepokan Guru Alit) meninggalkan kami. Rasa kehilangan itu masih seringkali menyergap lubuk hati kami, namun kami tidak bisa memungkiri bahwa semangat beliau untuk terus berjuang dan memberikan yang terbaik bagi Tuhan dan sesama sudah menular kepada kami. Dan Penghiburan dari Roh Kudus terus membuat kami kuat dan berani berharap.

Padepokan Guru Alit telah kehilangan Pendirinya, namun semangat beliau untuk setia sampai akhir menular pada kami para muridnya, anak-anak rohaninya, domba-domba yang dititipkan Yesus kepadanya.

Semangat itu yang membuat kami terus bersemangat melanjutkan pelayanan beliau, berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menjaga persatuan dan kesatuan (sekalipun itu sulit) dan terus mendoakan supaya pengganti beliau K’ Yonathan juga Ibu Hanna Johannes dipenuhi hikmat dari Tuhan untuk mengemban amanah besar yaitu menggembalakan domba-domba milik Tuhan.

Jakarta, 29 Desember 2011
Dengan penuh kasih tulisan ini didedikasikan untuk alm. Pdt. Johannes Ong, juga seluruh hamba Tuhan dan aktivis Gereja. Semoga kita bisa meneladani hal positif yang beliau tinggalkan.

Sabtu, 24 Desember 2011

Surat ini Untukmu

Hai Jef,

Apa kabarmu? Pasti lagi seneng dong ya? Kamu kebagian tugas apa? Menyanyi? Atau seperti biasanya menjadi koordinator lapangan. Atau lagi ditugaskan mendekor ruangan? Hm...ku rasa tanpa di dekor pun Rumah Besar itu sudah pasti sangat indah ya?

Andaikata ada kamera dan kabel data yang bisa menghubungkan tempat kita berdua saat ini, aku ingin meminta tolong agar kamu memotret suasana persiapan HUT JC. Pasti seru ya? Kamu kan senang banget mengabadikan setiap momen dalam bentuk foto, bertolak belakang dengan aku yang seringkali lupa membawa kamera pocket kita. Karenanya aku seringkali menyesal karena ada momen-momen yang berlalu begitu saja.

Persiapan HUT JC di rumah kita seperti biasa, santai, tanpa pohon natal, tanpa ngoyo beli kue-kue. Oh iya, aku tidak beli kue-kue kering karena Mama Dei mengirimnya langsung dari Manado. Ada kue Cornflake, kue kacang, akar kalapa, kacang goyang, hihi..kamu kangen gak makanan-makanan seperti itu?

Hari ini tahun kedua Natal kami tanpamu. Sepi. Tidak ada yang heboh bangun pagi-pagi untuk ke pasar dan mempersiapkan masakan ini itu. Tidak ada yang ngeyel menentukan kado apa untuk dua jagoan kita.

Tapi percayalah aku tetap bersemangat seperti janjiku dulu. Ada kado yang sudah tentu menjadi surprise untuk anak-anak kita. Edisi kado kali ini adalah Thomas and Friends dan Oscar. Kau masih ingat apa itu Thomas and Friends juga Oskar?

Setahun lebih kehidupan kami tanpamu adalah kehidupan yang penuh keajaiban. Ajaib,karena aku tidak menjadi gila kehilanganmu secara tiba-tiba.

Ajaib, karena sekalipun pada awalnya berat dan Joshua sempat sangat kurus karena merindukanmu, toh pada akhirnya dia bisa kembali ceria.

Ajaib, karena sekalipun aku sendiri namun tidak sepenuhnya sendiri dalam berjuang melanjutkan hidup kami.

Ajaib, karena Tangan yang Tak Terlihat itu selalu sigap menopangku. Mengirimku teman-teman yang siap menghiburku. Mengirimiku malaikat-malaikat yang bisa disentuh saat aku benar-benar terdampar pada rasa sepi yang tidak berujung.

Ajaib, karena ternyata Tuhan benar-benar menepati janji-Nya untuk menjadi perlindungan bagi para janda dan anak-anak yatim. Tak jarang aku melihat pembelaan-Nya yang Maha Dahsyat.

Seringkali, saat aku merasa takut dan merasa tidak sanggup menghadapi hidup dengan jiwa pejuang sejati, Tuhan mengirimkan penasihat yang membuatku mampu bangkit lagi.

Jeff,
seperti yang pernah ku katakan di penghujung jalanmu, YESUS yang mengambilmu, DIA juga yang akan bertanggungjawab dan memelihara kami yang kau tinggalkan. Itu yang terjadi pada kami sampai detik ini.

Jadi Jeff, aku hanya ingin kau tahu bahwa sampai detik ini aku masih sering merindukanmu. Juga anak-anak itu :) Suasana Natal yang akan datang esok pagi menambah sendu rasaku sore ini.

Aku juga ingin kau tahu, bahwa kami baik-baik saja. Kami ada di tangan Tuhan yang sangat mengasihi kami. Memelihara, menjaga, menghibur, dan memberikan harapan-harapan baru bagi kami.

Selamat Natal 2011 ya Jeff, surat ini kembali ku titipkan kepada Tuhan Yesus. Katakan pada-NYA..Selamat Ulang Tahun. Katakan pada-Nya aku bersyukur punya ALLAH seperti DIA. Yang setia, yang penuh kasih, yang senantiasa menopang kami hingga detik ini.

Salam sayang dari kami semua,

Riris, Farrel, dan Joshua

Kamis, 22 Desember 2011

Natal Kita

Natal adalah pemberian Sang Maha Kasih
Maka belajarlah untuk saling memberi
Natal adalah penundukan diri kepada Illahi
Maka teruslah belajar untuk menjadi hamba yang taat

Natal adalah keajaiban
Maka ciptakanlah keajaiban
Dengan menyentuh mereka yang tak tersentuh
Memberikan kasih yang hangat bagi sekelilingmu
Dan terus memancarkan cahaya bagi gelap dunia

Selamat Natal 2011 dan Selamat Menyambut Tahun Baru 2012
Kasih karunia Tuhan kiranya senantiasa menyertai kita semua.

Jumat, 09 Desember 2011

Berdoa? Hanya itu?

Sudah hampir 3 jam kami berlatih drama untuk dipentaskan di perayaan Natal waktu itu. Semangat latihan pada waktu itu seperti menukik tajam di titik minus. Mas Santoso, sang Sutradara sempat kerepotan mengarahkan kami yang tidak sehati.

Aku yang biasa disiplinpun mendadak jadi Anak Nakal yang menggemaskan. Mas Santoso tetap bersabar, meskipun rahangnya mulai mengeras menahan emosi. Aku kasihan, tapi entahlah hari itu bukan hanya aku yang berulah, hampir semua pemain drama.

Dari atas panggung, aku yang berperan sebagai Maria berusaha tenang. Temanku yang memerankan Yusuf mencolekku,"Lihat tuh, Om Yo sudah di pintu belakang! Sepertinya harapanmu untuk melihatnya marah-marah terkabul kali ini"

*Wink* dasar anak nakal, diberitahu seperti itu bukannya mengkeret malah seneng :) seumur-umur aku menjadi jemaatnya belum pernah melihat beliau marah besar. Beliau sering mendisiplinkan aktivis atau pelayan yang mulai tidak disiplin, tapi seingatku belum pernah sekalipun aku melihatnya MARAH BESAR.

Aku duduk tegak, teman-teman yang lain belum menyadari kehadiran beliau di pintu belakang (atau depan ya?) masih asyik ha ha hihi. Membayangkan kemungkinan beliau marah-marah pada kami seperti merasakan beberapa teguk kafein dalam kopi di pagi hari. (SERU,..hayah..Om Yo..maafkan aku!) Yang tadinya bosan berat mendadak menjadi segar, aku tersenyum sendiri. Pemeran Yusuf, hanya bisa terkekeh pelan melihat mataku yang membola berharap-harap cemas.

And...1...2...3...harapanku mendekati kenyataan.

Dengan langkah pasti Om Yo melangkah ke panggung. Meminta saya dan pemeran utama turun panggung, dan dengan nada yang lembut meminta pemain yang lainnya untuk duduk di bangku gereja.

Aku makin semangat,dalam hati berseru "Akhirnya, bisa juga aku melihat beliau marah!"

Masih dengan nada lembut tapi tegas beliau berkata,"Anak-anak semuanya, Om tahu kalian lelah, bosan, juga jenuh. Om Bangga, kalian tetap berusaha berlatih dalam kondisi yang tidak baik. Kita ingin mempersembahkan yang terbaik untuk Tuhan, bukan? Ayo kita berdoa, supaya Tuhan memulihkan semangat kita, kekuatan kita, juga kasih kita kepada-Nya sehingga latihan kita bisa semakin baik dan matang nantinya! Mari kita berlutut di tempat masing-masing dan mulai berdoa!"

Yaah??!@#Berdoa? Hanya itu? tapi toh aku nurut juga. Berlutut sambil mengaminkan setiap doa yang diucapkan oleh pemimpin doa siang itu. Aku hanya bisa diam dan merengut saat "si Yusuf" terkekeh sambil berbisik mengejek,"si Riris kecewa!"


Dalam hitungan tahun ke depan setelah peristiwa itu, ketika aku tidak lagi hanya menjadi pemeran drama. Ketika sesekali aku harus memimpin sebuah kelompok kecil, ketika sesekali aku harus berdiri di depan beberapa orang dengan banyak kehendak.Aku jadi mengerti..bahwa BERDOA..bukanlah HANYA SEBUAH KEGIATAN. Berdoa juga bukanlah mantra penghilang kerusuhan. BERDOA adalah kebutuhan.

Aku jadi belajar, bahwa kemarahan atau kekerasan tidak selalu bisa menyelesaikan masalah. Seringkali malah, kekerasan itu menghancurkan.

Teman-teman yang terkasih, menjelang Natal seperti ini sangat rentan terjadi gesekan di dalam pelayanan. Sangat rentan bagi para Ketua untuk mengalami kelelahan fisik maupun mental. Sangat besar kemungkinan terjadi konflik karena kecewa sehubungan dengan pendapat yang mungkin tidak diterima.

Jangan ambil resiko untuk terus mengandalkan kekuatan kita berpikir. Jangan memilih untuk terus berdebat dengan teman-teman sepelayanan. Pilihlah untuk melipat lutut bersama-sama dengan teman-teman sepelayanan, merendahkan hati di hadapan Tuhan. Mintalah kesatuan hati supaya semua bisa melayani dengan hati yang penuh dengan sukacita.

Supaya setelah perayaan Natal yang Akbar, tidak ada hati yang menjadi tawar karena tertusuk perkataan pedas. Supaya setelah perayaan Natal yang meriah tidak ada jiwa yang menjadi enggan untuk beribadah. Supaya..damai Natal bukan hanya menjadi buah bibir saja, tapi menjadi senyata nyatanya dalam hidup kita.

SELAMAT MENYAMBUT NATAL, damai dan suka cita Allah melingkupi kita semua.