Jumat, 02 Agustus 2024

Pujian Yang Membangun

Lin pulang sekolah dengan wajah berseri-seri. Sewaktu saya tanya mengapa dia hanya tersenyum, mengerling dan  tak banyak bicara. Selesai bebersih diri dan makan siang, dia menunjukkan LKSnya sembari bertanya,"Bagus gak mah tulisanku?"

Aku melihat tulisan sambil memeriksa jawabannya. "Ih mama, aku kan nanya bagus gak tulisanku? Bukan minta mama mengoreksi!"


Sambil terus memeriksa jawaban aku menjawab santai,"Lumayan."

Lin mendengus lalu bergumam,"Kayanya standar mama deh yang terlalu tinggi buat aku! Tadi saja Bu Sisca bilang tulisanku bagus kok! Aku juga ngadu ke Bu Sisca kalau mama sering ngatain tulisanku kaya cekeremes."

*deg* serasa kena palu godam..

Sebuah tamparan lembut terasa di hatiku. Betapa bawaan perfeksionis membuatku lupa siapa yang aku ajar dan didik. Membuat aku lupa bahwa Lin barulah anak-anak yang masih butuh banyak pengakuan dan apresiasi. Speechless beberapa detik sayapun bertanya,"Bu Sisca jawab apa sewaktu kamu mengadu dikatain mama tulisanmu kayak cekeremes?"

Kata Bu Sisca,"Enggak lho Lin, tulisanmu bagus dan rapi"

Aku menatap mata Lin dan meminta maaf padanya. "Maaf ya Lin, kalau mama tidak memilih kata yang tepat dalam mengajari kamu. Bu Sisca benar tulisan mu sudah bagus dan kalau kamu mau terus berlatih pasti akan menjadi tulisan yang bagus dan rapi"

Seringkali tanpa aku sadari menerapkan standar yang tinggi bagi anak-anak. Aku lupa bahwa untuk menjadi bagus dan sempurna perlu latihan. Dan agar anak mau terus latihan yang dibutuhkan adalah pelumas berupa pengakuan dan pujian. .

Dulu ketika TK dan masih Les CALISTUNG tulisannya memang sangat rapi. Karena masih menggunakan buku strimin. Masih bebas menggunakan waktu. Namun ketika SD dan menggunakan buku biasa  bahkan diberikan waktu pengerjaan  pasti butuh latihan lagi untuk lebih rapi.

Efek pujian dati gurunya membuat Lin lebih tekun berlatih menulis cepat namun rapi. Memang belum bisa sepenuhnya rapi tapi tidak lagi seperti cekeremes. Begitu ajaib efek samping pujian, responnya  berbeda jauh dibandingkan ketika saya mengomel dan bilang tulisannya yang (menurut saya) berantakan.

Menjadi orangtua yang baik ternyata bukan hanya butuh ilmu parenting. Praktiknya lhoo gaaeess yang sering kepleset. Menjadi orangtua yang baik ternyata ndak cukup hanya mengajar bagaimana baiknya namun juga harus bersedia menilai dari usaha dan sudut pandang anak.

Menjadi orangtua yang baik ternyata bukan bertepuk tangan saat anak sudah berhasil mencapai standar yang ditetapkan melainkan terus bertepuk tangan menyemangati ketika anak baru bisa mencapai standar yang mereka tetapkan sendiri sambil terus mendampingi dalam proses mereka.

Ada sesal siang itu.. mengapa aku sering terlanjur berkata jujur dan melukai. Tapi juga bersyukur Tuhan menempatkan guru-guru yang baik yang bisa menjadi penyeimbang kekerasan saya (yg sering tidak saya sadari) dalam mengajar dan mendidik anak.

Semoga semua anak dikelilingi guru-guru yang baik dan berdedikasi membangun manusia yang utuh. Yang bisa melihat kebutuhan anak, menjadi motivator yang hebat, dan menjadi sahabat yang terpercaya. Amin



Tulisan ini didedikasikan untuk semua guru yang sudah ikut mewarnai dengan warna-warna cantik dalam kehidupan anak-anak Indonesia.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Mau nagiss bu sya membacanya 🥺 Tuhan mmberkati Lintangg dan keluargaa ya... @b.siska

Y.Sulistiono mengatakan...

Mantaab, pengin belajar menulis bisakah mengajari.?

Riris Ernaeni mengatakan...

Bagaimana saya yang waktu itu dengar dia protes kalau standar saya terlalu tinggi😥 thanks for coloring bu. GBU

Riris Ernaeni mengatakan...

Mari belajar bersama, Pak