Kamis, 29 Desember 2011

Setia Hingga Akhir Waktu

Juli 2009
Tak ada yang berubah dengan rumah yang sering disebut ibu Loji Pastoral itu. Masih tetap tertata rapi, bersih, nyaman, dan sejuk. Semilir angin dari perkebunan tebu di sekelilingnya masih menghantarkan harmoni yang indah. Pepohonan tua yang menjadi pembatas jalan pun masih kokoh berdiri tak lapuk digerus musim yang silih berganti.

Sudah lama aku berdiam di beranda yang menghubungkan Gereja dengan Pastori. Membiarkan angin memainkan anak rambutku dan memanjakan imajinasiku menikmati kepingan kenangan yang tertinggal dan akan selalu tertinggal di sana.

“Wooh, anak wedok. Kapan lehmu teko?” (Wah, anak perempuanku, kapan kamu datang?) suara yang lembut dan khas itu mengusik gendang telingaku yang sedari tadi menikmati simphoni alam.

Untuk kesekian kali aku speechless, sebutan “anak wedok” itu masih diberikan padaku. Aku segera menoleh ke sumber suara dan mendapati dua orang yang sangat aku kasihi, Om Yohanes dan Tante Hanna, sudah berdiri di sebelah pintu samping pastori menyongsong kami.

Ah, pasti semua orang yang pernah bertemu dengan beliau merasa diistimewakan. Aku yakin, masing-masing anak rohaninya memiliki julukan yang menyejukkan hati.

Seketika hatiku diliputi keharuan, mataku berkaca-kaca namun kutahan sekuat hati untuk tidak menangis. Mataku nanar menatap sosok Om Yo yang sudah jauh berbeda dengan tahun-tahun lalu.

Tahun-tahun ketika beliau sengaja menunggu kami anak-anak Ngunut yang bersekolah di Tulungagung di perempatan Jepun sepulang pelayanan perintisan, supaya kami bisa pulang bersama-sama dengan mobil pastori.

Sosok yang mengajar tentang betapa penting dan dahsyatnya doa. Sosok yang selalu sigap dan tangkas membantu dan melayani orang lain. Pribadi yang telah dipakai-Nya menjadi alat peraga bahwa mekipun kelembutan itu terlihat lemah, namun memiliki daya yang besar untuk melakukan banyak perubahan..

Segera kusambut tangan mereka yang terulur. Dengan penuh rasa takzim kucium punggung tangan mereka yang keriput dimakan usia. Kau tahu, sebenarnya yang ingin kulakukan lebih dari itu. Aku ingin sekali menghambur dalam pelukan mereka, orangtua kedua yang sangat aku hormati seperti aku menghormati ayah dan ibu kandungku.

“Apa kabar, Om, Tante?”Tanya ku

“Sehat, kapan leh mu teko?”

“Kemarin! Om sakit? Kok pucat? Kurus lagi!” berondongku. Aaah..mulutku memang seringkali terlalu cepat bereaksi.

Om Yo tertawa,”Tidak, aku sehat kok! Hanya sedikit gangguan dengan pembuluh darah balik ke jantung, jadi mesti mengenakan stocking yang ketat untuk mengatasinya!”

Kami terlibat perbincangan seru waktu itu. Om dan Tante selalu antusias mendengar cerita-cerita dari kami anak-anak yang baru saja pulang merantau. Ini yang selalu membuat kami merasa “pulang” ketika berkunjung ke Pastori.

Dan ketika Om Yohanes menanyakan kabar Bapakku, barulah aku ingat bahwa selain untuk mengunjungi mereka, aku dimintai tolong oleh bapak untuk memintakan pelayanan kunjungan bagi beliau karena sedang sakit.

“Baiklah, nanti aku akan kesana setelah driver gereja sampai, ya?” kata beliau mengiyakan.

“Hm..kalau Om sedang sakit, pelayanan kunjungan didelegasikan saja, Om! Jangan memaksakan diri.” Lagi pintaku

“Gak, aku sehat. Aku yo ora marem lek ora nglayani dhewe. Apik gak apik keadaanku, tugasku lhak memberitakan kabar baik. Iya to?”jawab beliau (Tidak, aku sehat. Aku ya tidak puas jika tidak melayani sendiri. Baik tidak baik keadaanku, tugasku kan memberitakan kabar baik. Iya, kan?)

“Iya, tapi…” belum selesai aku berbicara, beliau memotong,”Sudah, kamu pulang dulu. Bapak pasti sangat membutuhkanmu. Nanti aku pasti datang.”

Tepat seperti yang dijanjikan, Om Yo datang bersama ketua Rayon Lk. V, juga dengan driver gereja ke rumahku. Ketika hendak menapaki anak tangga di teras rumahku, aku mencoba menggandengnya. Beliau tak menolak, namun tersenyum dan berkata,”Aku masih kuat dan baik-baik saja!”

Biarpun tubuhnya tampak lebih ringkih, namun kobaran api dalam hatinya masih tetap sama. Api itu yang membuatnya seolah memiliki tabung tenaga cadangan menaklukkan kelemahan usia senjanya. Bahkan kelemahlembutan beliau tak sanggup menutupi kobaran semangat yang mendidih di hatinya.

“Wah, Bapakmu panjang usia ya, Ris? Sekarang saja sudah hampir 90. Aku saja tidak tahu apakah masih bisa ikut menyambut tahun baru atau tidak.”kata Om Yo.

“Deg……” dadaku seperti habis dipukul benda berat mendengar pernyataan ringan beliau. Sebenarnya aku ingin sekali protes dengan kalimat pesimis yang baru sekali ini beliau ucapkan. Tapi aku merasa sudah cukup tua untuk protes seperti anak-anak.

“Pasti bisa Om. Karena Tuhan pasti memberikan umur yang panjang untuk Om Yohanes!” tukasku setelah perasaannku tertata.

“Amin, suwun pandongane. Bagiku bukan soal berapa lama kita hidup di bumi ini, tapi bagaimana kita mengisi hidup yang Tuhan sudah karuniakan kepada kita. Tetaplah melayani Tuhan dengan apa yang kamu bisa, Ndhuk!” jawab beliau sembari berpamitan meninggalkan perasaan haru, rindu, juga sedih.




28 Desember 2009
Hari-hari terakhir menjelang pergantian tahun. Aku menjenguk percakapan lintas kota dan benua melalu milis kami. Ada berita yang cukup menghenyakkanku, bahwa seorang pendeta dari daerahku membutuhkan donor darah dan sedang dirawat di sebuah Rumah Sakit ibukota. Semula aku pikir kebetulan saja namanya sama dan dari daerah yang sama. Namun ketika contact person yang dicantumkan pengirim berita juga sama dengan nama putra sulung beliau, rasanya aku tidak bisa mengatakan hal itu sebuah kebetulan.

Dari perbincanganku dengan Putra Sulungnya, Yonathan, aku mengetahui keadaan beliau. Masih dirawat di ICU meskipun persediaan darah sudah mencukupi. Berhubung belum bisa dijenguk, aku hanya bisa menitipkan salamku kepada beliau. Dan mengatur rencana untuk membezuk beliau ketika sudah di ruang perawatan.

Dalam doa malamku kubawa harapanku tentang kesembuhan beliau. Dalam kepasrahanku aku terus mengharapkan mujizat besar terjadi. Aku yakin bukan hanya aku yang berdoa, para sidang jemaat, hamba-hamba Tuhan yang lainnya pasti ikut mendoakan beliau.

Namun kedaulatan Tuhan menentukan keputusan yang lain dari apa yang kami harapkan. Tepat di tanggal 29 Desember 2009 pukul 08.30, Tuhan Yesus membawa pergi Pahlawan Salib terbaik yang pernah kami miliki. Meninggalkan duka juga rasa kehilangan yang mendalam.

Tidak ada yang benar-benar siap kehilangan orang yang kita kasihi, meskipun secara implisit Tuhan sudah memberikan beberapa tanda. Tidak ada yang benar-benar siap kehilangan orang yang kita kasihi, meskipun kita semua menyadari bahwa semua orang toh bakal meninggal.

Hari ini, 29 Desember 2011, tepat 2 tahun sudah Om Yohanes (gembala kecil dari Padepokan Guru Alit) meninggalkan kami. Rasa kehilangan itu masih seringkali menyergap lubuk hati kami, namun kami tidak bisa memungkiri bahwa semangat beliau untuk terus berjuang dan memberikan yang terbaik bagi Tuhan dan sesama sudah menular kepada kami. Dan Penghiburan dari Roh Kudus terus membuat kami kuat dan berani berharap.

Padepokan Guru Alit telah kehilangan Pendirinya, namun semangat beliau untuk setia sampai akhir menular pada kami para muridnya, anak-anak rohaninya, domba-domba yang dititipkan Yesus kepadanya.

Semangat itu yang membuat kami terus bersemangat melanjutkan pelayanan beliau, berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menjaga persatuan dan kesatuan (sekalipun itu sulit) dan terus mendoakan supaya pengganti beliau K’ Yonathan juga Ibu Hanna Johannes dipenuhi hikmat dari Tuhan untuk mengemban amanah besar yaitu menggembalakan domba-domba milik Tuhan.

Jakarta, 29 Desember 2011
Dengan penuh kasih tulisan ini didedikasikan untuk alm. Pdt. Johannes Ong, juga seluruh hamba Tuhan dan aktivis Gereja. Semoga kita bisa meneladani hal positif yang beliau tinggalkan.

Sabtu, 24 Desember 2011

Surat ini Untukmu

Hai Jef,

Apa kabarmu? Pasti lagi seneng dong ya? Kamu kebagian tugas apa? Menyanyi? Atau seperti biasanya menjadi koordinator lapangan. Atau lagi ditugaskan mendekor ruangan? Hm...ku rasa tanpa di dekor pun Rumah Besar itu sudah pasti sangat indah ya?

Andaikata ada kamera dan kabel data yang bisa menghubungkan tempat kita berdua saat ini, aku ingin meminta tolong agar kamu memotret suasana persiapan HUT JC. Pasti seru ya? Kamu kan senang banget mengabadikan setiap momen dalam bentuk foto, bertolak belakang dengan aku yang seringkali lupa membawa kamera pocket kita. Karenanya aku seringkali menyesal karena ada momen-momen yang berlalu begitu saja.

Persiapan HUT JC di rumah kita seperti biasa, santai, tanpa pohon natal, tanpa ngoyo beli kue-kue. Oh iya, aku tidak beli kue-kue kering karena Mama Dei mengirimnya langsung dari Manado. Ada kue Cornflake, kue kacang, akar kalapa, kacang goyang, hihi..kamu kangen gak makanan-makanan seperti itu?

Hari ini tahun kedua Natal kami tanpamu. Sepi. Tidak ada yang heboh bangun pagi-pagi untuk ke pasar dan mempersiapkan masakan ini itu. Tidak ada yang ngeyel menentukan kado apa untuk dua jagoan kita.

Tapi percayalah aku tetap bersemangat seperti janjiku dulu. Ada kado yang sudah tentu menjadi surprise untuk anak-anak kita. Edisi kado kali ini adalah Thomas and Friends dan Oscar. Kau masih ingat apa itu Thomas and Friends juga Oskar?

Setahun lebih kehidupan kami tanpamu adalah kehidupan yang penuh keajaiban. Ajaib,karena aku tidak menjadi gila kehilanganmu secara tiba-tiba.

Ajaib, karena sekalipun pada awalnya berat dan Joshua sempat sangat kurus karena merindukanmu, toh pada akhirnya dia bisa kembali ceria.

Ajaib, karena sekalipun aku sendiri namun tidak sepenuhnya sendiri dalam berjuang melanjutkan hidup kami.

Ajaib, karena Tangan yang Tak Terlihat itu selalu sigap menopangku. Mengirimku teman-teman yang siap menghiburku. Mengirimiku malaikat-malaikat yang bisa disentuh saat aku benar-benar terdampar pada rasa sepi yang tidak berujung.

Ajaib, karena ternyata Tuhan benar-benar menepati janji-Nya untuk menjadi perlindungan bagi para janda dan anak-anak yatim. Tak jarang aku melihat pembelaan-Nya yang Maha Dahsyat.

Seringkali, saat aku merasa takut dan merasa tidak sanggup menghadapi hidup dengan jiwa pejuang sejati, Tuhan mengirimkan penasihat yang membuatku mampu bangkit lagi.

Jeff,
seperti yang pernah ku katakan di penghujung jalanmu, YESUS yang mengambilmu, DIA juga yang akan bertanggungjawab dan memelihara kami yang kau tinggalkan. Itu yang terjadi pada kami sampai detik ini.

Jadi Jeff, aku hanya ingin kau tahu bahwa sampai detik ini aku masih sering merindukanmu. Juga anak-anak itu :) Suasana Natal yang akan datang esok pagi menambah sendu rasaku sore ini.

Aku juga ingin kau tahu, bahwa kami baik-baik saja. Kami ada di tangan Tuhan yang sangat mengasihi kami. Memelihara, menjaga, menghibur, dan memberikan harapan-harapan baru bagi kami.

Selamat Natal 2011 ya Jeff, surat ini kembali ku titipkan kepada Tuhan Yesus. Katakan pada-NYA..Selamat Ulang Tahun. Katakan pada-Nya aku bersyukur punya ALLAH seperti DIA. Yang setia, yang penuh kasih, yang senantiasa menopang kami hingga detik ini.

Salam sayang dari kami semua,

Riris, Farrel, dan Joshua

Kamis, 22 Desember 2011

Natal Kita

Natal adalah pemberian Sang Maha Kasih
Maka belajarlah untuk saling memberi
Natal adalah penundukan diri kepada Illahi
Maka teruslah belajar untuk menjadi hamba yang taat

Natal adalah keajaiban
Maka ciptakanlah keajaiban
Dengan menyentuh mereka yang tak tersentuh
Memberikan kasih yang hangat bagi sekelilingmu
Dan terus memancarkan cahaya bagi gelap dunia

Selamat Natal 2011 dan Selamat Menyambut Tahun Baru 2012
Kasih karunia Tuhan kiranya senantiasa menyertai kita semua.

Jumat, 09 Desember 2011

Berdoa? Hanya itu?

Sudah hampir 3 jam kami berlatih drama untuk dipentaskan di perayaan Natal waktu itu. Semangat latihan pada waktu itu seperti menukik tajam di titik minus. Mas Santoso, sang Sutradara sempat kerepotan mengarahkan kami yang tidak sehati.

Aku yang biasa disiplinpun mendadak jadi Anak Nakal yang menggemaskan. Mas Santoso tetap bersabar, meskipun rahangnya mulai mengeras menahan emosi. Aku kasihan, tapi entahlah hari itu bukan hanya aku yang berulah, hampir semua pemain drama.

Dari atas panggung, aku yang berperan sebagai Maria berusaha tenang. Temanku yang memerankan Yusuf mencolekku,"Lihat tuh, Om Yo sudah di pintu belakang! Sepertinya harapanmu untuk melihatnya marah-marah terkabul kali ini"

*Wink* dasar anak nakal, diberitahu seperti itu bukannya mengkeret malah seneng :) seumur-umur aku menjadi jemaatnya belum pernah melihat beliau marah besar. Beliau sering mendisiplinkan aktivis atau pelayan yang mulai tidak disiplin, tapi seingatku belum pernah sekalipun aku melihatnya MARAH BESAR.

Aku duduk tegak, teman-teman yang lain belum menyadari kehadiran beliau di pintu belakang (atau depan ya?) masih asyik ha ha hihi. Membayangkan kemungkinan beliau marah-marah pada kami seperti merasakan beberapa teguk kafein dalam kopi di pagi hari. (SERU,..hayah..Om Yo..maafkan aku!) Yang tadinya bosan berat mendadak menjadi segar, aku tersenyum sendiri. Pemeran Yusuf, hanya bisa terkekeh pelan melihat mataku yang membola berharap-harap cemas.

And...1...2...3...harapanku mendekati kenyataan.

Dengan langkah pasti Om Yo melangkah ke panggung. Meminta saya dan pemeran utama turun panggung, dan dengan nada yang lembut meminta pemain yang lainnya untuk duduk di bangku gereja.

Aku makin semangat,dalam hati berseru "Akhirnya, bisa juga aku melihat beliau marah!"

Masih dengan nada lembut tapi tegas beliau berkata,"Anak-anak semuanya, Om tahu kalian lelah, bosan, juga jenuh. Om Bangga, kalian tetap berusaha berlatih dalam kondisi yang tidak baik. Kita ingin mempersembahkan yang terbaik untuk Tuhan, bukan? Ayo kita berdoa, supaya Tuhan memulihkan semangat kita, kekuatan kita, juga kasih kita kepada-Nya sehingga latihan kita bisa semakin baik dan matang nantinya! Mari kita berlutut di tempat masing-masing dan mulai berdoa!"

Yaah??!@#Berdoa? Hanya itu? tapi toh aku nurut juga. Berlutut sambil mengaminkan setiap doa yang diucapkan oleh pemimpin doa siang itu. Aku hanya bisa diam dan merengut saat "si Yusuf" terkekeh sambil berbisik mengejek,"si Riris kecewa!"


Dalam hitungan tahun ke depan setelah peristiwa itu, ketika aku tidak lagi hanya menjadi pemeran drama. Ketika sesekali aku harus memimpin sebuah kelompok kecil, ketika sesekali aku harus berdiri di depan beberapa orang dengan banyak kehendak.Aku jadi mengerti..bahwa BERDOA..bukanlah HANYA SEBUAH KEGIATAN. Berdoa juga bukanlah mantra penghilang kerusuhan. BERDOA adalah kebutuhan.

Aku jadi belajar, bahwa kemarahan atau kekerasan tidak selalu bisa menyelesaikan masalah. Seringkali malah, kekerasan itu menghancurkan.

Teman-teman yang terkasih, menjelang Natal seperti ini sangat rentan terjadi gesekan di dalam pelayanan. Sangat rentan bagi para Ketua untuk mengalami kelelahan fisik maupun mental. Sangat besar kemungkinan terjadi konflik karena kecewa sehubungan dengan pendapat yang mungkin tidak diterima.

Jangan ambil resiko untuk terus mengandalkan kekuatan kita berpikir. Jangan memilih untuk terus berdebat dengan teman-teman sepelayanan. Pilihlah untuk melipat lutut bersama-sama dengan teman-teman sepelayanan, merendahkan hati di hadapan Tuhan. Mintalah kesatuan hati supaya semua bisa melayani dengan hati yang penuh dengan sukacita.

Supaya setelah perayaan Natal yang Akbar, tidak ada hati yang menjadi tawar karena tertusuk perkataan pedas. Supaya setelah perayaan Natal yang meriah tidak ada jiwa yang menjadi enggan untuk beribadah. Supaya..damai Natal bukan hanya menjadi buah bibir saja, tapi menjadi senyata nyatanya dalam hidup kita.

SELAMAT MENYAMBUT NATAL, damai dan suka cita Allah melingkupi kita semua.

Selasa, 22 November 2011

Tidak Cukup Menghapal

Siang hari yang terik dengan semangkuk irisan buah ditanganku, aku menikmati semilir angin yang menerobos masuk di Loji Pastoral. Om Yo, demikian aku memanggilnya tengah asyik mengamati beberapa kaktus koleksi Tante Hanna istrinya.

Oh iya, Loji Pastoral itu sebutan ibu untuk pastory gerejaku. Ini adalah rumah kedua yang sudah pasti selalu aku rindukan setelah rumahku sendiri.Jika kebetulan waktu lesku tidak terlalu jauh dari jam pulangku, seringkali aku lebih memilih untuk langsung beristirahat di pastory yang letaknya lebih dekat dibandingkan dengan jarak tempuh rumah dan tempat kursus.

Seperti biasa aku duduk santai sambil mendengarkan para penghuni yang berbincang dan bercanda. Om Yo, duduk di sebelahku. Sementara Tante Hanna seperti biasa membujukku untuk mau makan siang. Dan terus menerus menasihati bahwa buah saja tidak cukup untuk memberiku energy. Wah, beliau tidak tahu, semangkuk irisan buah siang itu tetap saja membuat aku sanggup untuk pecicilan ke sana sini.

Tak berapa lama, muncul beberapa orang melintas di selasar pastory. Dari sekian orang itu aku mengenal mereka karena kami sesama anggota jemaat. Namun ada dua atau tiga orang yang tidak aku kenal. Yang membuat aku sedikit tercekat adalah mereka mengenakan kostum kepercayaan yang berseberangan dengan kami.

Mereka mengangguk sopan dan penuh hormat kepada Om Yo dan Tante Hanna. Dengan ramah mereka dipersilahkan masuk untuk bergabung ke ruang makan untuk bersantap siang. Tidak ada mimic muka yang aneh dari Om dan Tante. Mereka santai saja seolah tidak terjadi sesuatu yang istimewa.

Sementara mata dan pikiranku sibuk menelisik, Om Yo bertanya,”Mengapa?”

Bukannya menjawab aku malah balik bertanya,”Siapa?”

Om Yo mengangkat kedua alisnya

“Mereka tadi siapa?”tegasku

“Oh..itu.. mereka buruh pabrik sebelah. Memang biasa ikut makan siang di sini bersama si Agus (samaran)

“Tapi ….?” Tanyaku menggantung karena ku lihat tidak ada yang mereka permasalahkan dari peristiwa yang aku anggap langka.

Om Yo paham dengan pertanyaan menggantung itu. Beliau paham sekali bahwa waktu itu aku masih sangat belia. Sedang berapi-api dalam cinta-Nya, namun belum berimbang dalam menyikapi hidup.

“Kau tahu hukum kasih, Ris?” Tanya beliau

“Tentu saja, di luar kepala malah!” Jawabku sambil menjentikkan ujung kelingkingku

“Bisa kau sebutkan hukum kasih yang kedua sekarang?” lagi Tanya Om Yo“

“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”jawabku

“Coba ulangi lagi?!” pintanya

“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”lagi jawabku

“Coba ulangi lagi?!”lagi pintanya

Aku mendengus kesal, merasa dikerjai. Beliau tersenyum menyentuh pundakku dan berkata,”Perintah Tuhan adalah kasihilah sesamamu manusia. Tuhan Yesus tidak berkata kasihilah sesama agamamu. Tuhan Yesus berkata kasihilah sesamamu manusia tidak tergantung apakah mereka dari suku atau agama yang sama!”


Aku terdiam, betapa tiba-tiba aku merasa kecil dan menjadi merasa tidak tahu banyak setelah penjabaran itu.

“Wis dong, Ndhuk (sudah paham, ndhuk)?!”Tanya beliau seraya tersenyum

Lagi-lagi aku diam tidak menyahut. Beliau pun melanjutkan aktivitasnya meninggalkan aku sendirian merenung.

Siang itu api fanatic yang membakar hatiku padam seketika, berganti aliran kasih yang sejuk. Siang itu semangat fanatic yang salah merapuh, digantikan pengertian baru. Bahwa kasih merangkul banyak perbedaan. Kasih artinya menabur kebajikan di banyak ladang. Kasih artinya sanggup hidup berdampingan bahkan berpelukan dalam keragaman

Siang itu, aku belajar bahwa memang penting membaca dan menghapal banyak ayat alkitab. Tapi yang lebih penting dan menyenangkan hati Tuhan adalah, ketika aku memahami dan menjadi pelaku Firman-Nya.

ayat referensi :
Mat 22:39 Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

Yak 1:22 Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.

Selasa, 15 November 2011

Anak Panah

Pernahkah kau mengalami suatu keadaan yang membuat hidupmu seperti ditarik mundur, jauh dari harapan?

Pernahkah kau melihat orang-orang yang dulunya berapi-api tiba-tiba seperti kehilangan semangat bahkan lenyap dari peredaran?

Pernahkan kau melihat atau bahkan merasakan bahwa orang-orang yang pernah kau lihat (atau bahkan dirimu sendiri) mengalami kemunduran itu, lalu tiba-tiba melesat cepat ke depan dan meraih banyak hasil?

Pasti pernah, bukan?

Kita seperti anak panah di tangan Tuhan. Ada masa-masa anak panah itu melesat cepat terlepas dari gandewanya menuju sasaran yang dimaksudkan. Ada masanya anak-anak panah itu harus istirahat dalam tabung-Nya. Namun di saat yang diperlukan, anak panah itu akan dipasang dalam gandewa-Nya ditarik kebelakang..sejauh mungkin untuk mencapai suatu sasaran.

Semakin jauh tarikannya, semakin jauh pula jarak yang akan ditempuh. Semakin panjang rentang busur menarik ancang-ancang, makin cepat pula anak panah itu melesat.

Jadi...Jika kau seperti dalam keadaan yang mundur, bersabarlah :
mungkin Tuhan tengah meletakkanmu di busur-Nya. Menarikmu jauh-jauh ke belakang, agar di saat kau dilepaskan, kau memiliki daya dorong yang kuat untuk mencapai sasaran.

Dan jika kau melihat seorang teman seperti tengah mengalami kemunduran, jangan buru-buru menghakimi dengan mengatakan,"Apinya telah padam"
Jadilah teman yang baik, yang mendampingi di saat temanmu sedang "dimundurkan" karena dengan demikian kau ikut menjaganya agar tidak sampai putus asa dan terkulai.

Kau, aku, mereka...adalah anak-anak panah ditangan Tuhan. Hidup untuk mencapai suatu sasaran yang sudah ditetapkan. Tetaplah semangat, tetaplah bersabar, karena semua akan indah pada waktunya.

Tidak pernah terlambat

Terkadang kita merasa, Tuhan begitu lambat bekerja untuk menolong kita. Seringkali kita merasa, pertolongan Tuhan kok nanggung yaa??

Kita sering berharap, ketika kita meminta jalan keluar, Tuhan membukakan jalan seluas-luasnya agar kita bisa melangkah dengan leluasa.

Tapi apa yang terjadi ? seringkali yang terbuka hanyalah sebuah celah kecil, yang hanya bisa diterobos oleh aliran air yang sangat kecil.

Jangan terlalu cepat kecewa, kawan!! Nantikan saja pertolongan Tuhan dalam diam dan tenang. Karena Tuhan tidak pernah bekerja setengah-setengah. Di waktu yang dianggap-Nya tepat..Tuhan akan bergerak seperti air bah yang tidak ada yang sanggup membendung-Nya.

Tuhan memperhitungkan dengan detail rencana-Nya.
Kita di hati-Nya
dekat dengan denyut jantung-Nya
kita ada di pelupuk mata-Nya
selalu dikenang-Nya

dan DIA? Dia jauh lebih mengenal siapa kita dan harus dengan cara apa menolong kita. Supaya pertolongan dan berkat-Nya tidak membuat kita binasa melainkan membuat kita semakin dekat dengan DIA.

Sabtu, 23 Juli 2011

10-09-10 ; 03.30

Bunga Rumput

Mzm 103 : 15-16 Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga;
apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi.

---
Sepuluh bulan yang lalu, ketika Hari Raya Idul Fitri tinggal beberapa hari, kami menyambutnya dengan penuh sukacita. Mengapa? Hari Raya Idul Fitri menjadi momen bagi kami berkumpul di keluarga besar di kampung halaman ikut bersukacita bersama kakak-kakak kami dan keluarga yang memeluk Agama Islam

Seperti biasa Jefri (suamiku) sangat bersemangat menyambut juga mempersiapkan liburan kami. Jef berangan-angan akan meminta beberapa benih bunga anggrek, juga bunga-bunga langka yang tumbuh di pelataran rumahku. Dia sangat menyukai kegiatan bercocok tanam. Bahkan sudut halaman kontrakan kami pun penuh bunga hias yang terurus dengan baik. Selain bercocok tanam, Jefri juga menyukai unggas, itu sebabnya sebagian gudang kecil kami yang di luar ruangan dijadikan kandang merpati.

Membayangkan bertemu tanaman-tanaman hias saja sudah membuatnya berbinar-binar apalagi dia membayangkan pecel Tulungagung dengan rasa yang khas. Setiap kami berkumpul seusai bekerja dia selalu membahas tentang liburan yang akan kami jalani.

Mengingat Jefri memiliki riwayat hipertensi, saya memintanya untuk memeriksakan diri sebelum kami berlibur. Hasil pemeriksaan semua normal. Tekanan darahnya 120/90, kolesterol dan asam urat juga normal.

Tiba hari yang dinantikan, kami bersama keluarga kakak berangkat beriringan menggunakan mobil pribadi. Kakak dan keluarga disopiri oleh keponakan saya bergantian dengan kakak ipar, sementara rombongan kami disopiri oleh sopir keluarga kakak.

Setelah singgah di Jogja untuk beristirahat semalaman, kami melanjutkan perjalanan menuju Jawa Timur. Seperti kemarin-kemarin, Jefri tidak mengeluhkan apapun selain ingin pijat di tukang urut langganan kami. Semua berjalan normal. Dia senang bahkan terlihat sangat senang melihat tetumbuhan hijau di halaman rumah. Mendengar kokok ayam jantan yang dipelihara kakak, bahkan melihat kecipak ikan gurame di kolam kami. Suasana dusun yang sebenarnya sudah lama kami rindukan.

“Ah, aku ingin menghabiskan sisa umurku di tempat ini, Ma!” ujarnya tiba-tiba. Saya hanya tertawa mengiyakan, tentu saja menunggu jika anak-anak sudah dewasa dan mapan 

Pagi itu ketika adzan Subuh berkumandang, Jef membangunkan aku untuk berdoa. Ketika berdoa, tidak seperti biasanya dengan sungguh-sungguh dia menyerahkan kami (aku dan anak-anak) ke dalam tangan Tuhan. Begitu amin, meskipun biasanya dia memang selalu mencium dan memelukku.. pagi itu terasa lain. Pelukannya sangat erat, sampai saya sulit bernafas.

Singkat cerita, ketika malam hari berkumpul dan bercerita dengan keluarga besar tiba-tiba Jefri pamit untuk istirahat katanya tiba-tiba tidak enak badan. Saya menyusulnya untuk melihat keadaannya. Dia gelisah dan merintih dan tiba-tiba saja berlari ke ruang keluarga lalu hampir pingsan.

Hampir tengah malam..saya jejeritan histeris. Bagaimana tidak? Seharian dia tidak menunjukkan sakit apa-apa, seharian dia bercanda dan tertawa bersama kami, lalu tiba-tiba tubuh gempalnya roboh tak berdaya. Dengan sigap kakak-kakak kami mengangkatnya ke mobil untuk dilarikan ke Rumah Sakit terdekat. Mendengar aku histeris, dia mengangkat dan melambaikan tangannya sambil berbisik sesuatu (belakangan aku tahu dia bilang “Sabar!”).

Keterbatasan fasilitas di Rumah Sakit daerah membuatnya dirujuk ke rumah sakit pusat. Kesadarannya makin menurun. Hasil SCAN dinyatakan ada beberapa pembuluh darah yang pecah. Ketika saya melihat rekaman medic itu, seketika saya lunglai. Ada tujuh titik pembuluh darah yang pecah. Hampir semua bagian otaknya tertutup darah.

Aku seperti dilemparkan ke pulau tak berpenghuni. Sunyi dan menakutkan. Lutut gemetar seiring dengan degup jantung yang tak menentu. Duduk di dekatnya, sembari menyusun kalimat doa.

“Ya Allah Roh Kudus, bimbinglah aku untuk berdoa sesuai dengan keinginan Yesus. Saat ini aku benar-benar tidak tahu bagaimana aku harus berdoa.”bisik saya.

Beberapa kali saya membimbing Jef untuk terus mengingat Yesus, berdoa kepada-Nya. Juga berserah total kepada kehendak-Nya. Ketika doa-doa itu kubisikkan, aliran ketenangan masuk ke dalam batinku. Ketenangan itu yang membuat aku bisa berdiri tegak meskipun hatiku sakit melihat orang yang kucintai bersusah payah bernafas untuk bertahan hidup.

Pukul 24.00 waktu setempat, nafas berat Jefri semakin jarang terdengar. “Tuhan Yesus, jadilah apa yang Engkau kehendaki. Namun aku meminta sesuatu dan tolong jangan ditolak. Jika Engkau menghendaki Jeff kembali ke pangkuan-Mu, tolong jangan biarkan aku menjadi GILA. Juga tolong aku untuk tidak menjadi kecewa lalu menyangkal Engkau. Sekarang, tolonglah aku untuk melakukan apa yang harus aku lakukan.”

Melihat Jeff berjibaku melawan maut membuat hati saya benar-benar hancur. Aku menguatkan hati untuk membisikkan sesuatu kepadanya.

“Pa, aku mencintaimu seperti kamu mencintaiku. Aku ingin kamu sembuh, bangun dan ceria seperti biasanya. Tapi...jika TUHAN YESUS sudah mengajakmu pergi...pergilah dengan tenang. Jangan kuatir tentang aku dan anak-anak. Karena TUHAN YESUS yang membawamu pergi, DIA juga yang akan mengurus kami di sini.”

Napas Jef makin jarang, Pukul 03.00 saya kembali menyerahkan semua keputusan dalam tangan Tuhan, tunduk tanpa perlawanan. Pukul 03.30, tekanan darahnya turun drastis, nafasnya makin jarang.

Dokter meminta saya untuk membimbingnya berdoa, tahulah saya apa artinya. Sambil menahan tangis, kembali saya menyampaikan maaf, mengatakan padanya untuk pergi dengan tenang bersama Tuhan Yesus, dan memimpinnya berdoa penyerahan.

Tepat setelah kata “Amin” saya ucapkan. Jeff berpulang. Separuh dari bagian hidupku seolah melayang. Aku menangis dalam pelukan kakakku. Perih, hancur, bahkan terasa linglung saat itu..bahkan mengabari mama di Manado pun sambil jejeritan. Aku bahkan hampir saja melupakan perasaan Mama mertua yang 6 bulan sebelumnya kehilangan Papa.

10-09-10,03.40, Jeff pergi dengan tenang, meninggalkan senyum manisnya, cintanya, juga perhatiannya untuk dikenang.

Yah...aku, kamu, dia, mereka..sama-sama manusa yang semaraknya seperti bunga rumput. Sebentar terlihat dan segera sirna ketika panas memanggang dan angin berhembus kencang.

Terpujilah Tuhan!! Dia yang memberi, DIA juga yang mengambil.


Perjalanan hidup, juga banyaknya pelajaran yang kami lalui bersama telah membuat iman bangkit seperti biji sesawi. Tangisan juga jeritan pilu kepedihan yang terjadi tidak bisa menutupi apa yang di dalam hati.

Namun...damai sejahtera yang melampaui segala akal yang berasal dari Roh Kudus, dengan sigap mencengkeramku. Menjagaku untuk tetap waras hingga saat ini. (bersambung)

Selasa, 12 Juli 2011

Gereja Idaman

--sekedar menyelamatkan tulisan saya yang diposting di milis yg lagi rame *wink* --

“Sob, menurutmu, mengapa banyak orang eksodus dari Gereja yang lama?”Tanya seorang teman

“Hm..mungkin..karena belum mendapatkan Gereja Idaman!”jawabku sekenanya
Tanyanya lagi kepadaku,”Gereja idamanmu seperti apa, Sob?”

Aku tercenung, antara ingin menjawab jujur dan menjawab yang ideal agar telihat rohani. Disentuhnya punggung tanganku dan berkata,”Jujur saja, jangan takut”

Maka aku pun menjawab,”Gereja idaman bagiku adalah suatu tempat yang jika aku berkunjung ke sana aku merasa PULANG!”

Dia mengernyitkan dahi, aku pun melanjutkan opiniku.

Iya..merasa pulang!! Tegasku, merasa pulang berarti, aku mendapatkan sesuatu yang berbeda setelah berjibaku dengan dunia seminggu penuh. Merasa pulang berarti aku menjumpai hal-hal yang menyenangkan seperti ketika aku pulang dari bepergian jauh.

Merasa pulang berarti, ketika aku datang banyak orang yang menunjukkan betapa kedatanganku sangat diharapkan. Dan ketidakhadiranku adalah sepi dan memunculkan kerinduan.

Meja makan yang dipenuhi menu cinta kasih dengan aneka ragam rasa. Ramai kita saudara bersaudara berkumpul di sekelilingnya bersendagurau bertukar cerita dengan akrab tanpa malu. Menu wajib yang sangat aku rindukan adalah : menu yang menyegarkan, menu yang mengingatkan, menu yang menunjukkan arah, yang menyatakan kesalahan, menu yang memperbaiki kelakuan, juga menu yang membuatku menyukai hidup dalam kebenaran.

Menu-menu makan itu diracik dengan bumbu yang membumi, sehingga lidahku tak terasa asing. Menu-menu makan di atas disajikan dengan tangan-tangan manusiawi sehingga lidah dan lambungku tak menolak untuk diisi.

Jika aku kedapatan berbuat salah, layaknya dalam keluarga aku mau ditegur dan diarahkan dengan kasih, tanpa membuatku merasa dipermalukan atau diperlakukan seperti orang bodoh sedunia. Jika aku masih belum bertobat, aku mau dipukul dengan tongkat supaya hilang bebalku, tapi please..dengan penjelasan yang bisa aku cerna

Jika aku sedang jatuh, layaknya saudara aku ingin ditolong, didukung, hingga aku bisa berdiri kembali untuk melakukan tugas-tugasku. Bukan digosipin, bukan dihakimi, juga bukan didiagnosa sedang menderita “dosa” apa.

Jika aku menghilang, ada yang mencariku dengan cinta  bukannya sibuk menganalisa penyebabnya lalu menjadikannya cerita di belakang punggungku. Cerita yang mencoreng aib bagi mukaku. Ahai…taukah kamu? Dinding dan bangku gereja itu bertelinga juga bermulut, hingga kabar buruk yang tersebar bisa kembali ke korban lho.

Aku lebih rela ditegur dengan nyata, daripada dicium dengan ciuman yang palsu. Dan lebih suka mengerjakan tugas-tugas dengan baik daripada duduk berdebat ratusan teori, lalu berakhir dengan hati yang pahit. Karena masing-masing ingin tampak pintar. (pepesan kosong kan tidak membuat kenyang? Heleh!)

Ku rasa kurang lebih seperti itu gereja idamanku.

“Apakah kau sudah menemukan Gereja yang seperti itu, Sob?”Tanya temanku.

Aku hanya mengerling ke arah Yesus, tos dengan-Nya..lalu meninggalkan temanku itu. Membiarkan dia menebak jawaban atas pertanyaannya itu. ***

Sabtu, 09 Juli 2011

Ratu Pertiwi dan Satrio Piningit

Oleh : Riris

Ratu Pertiwi sedang gundah gulana. Matanya sembab, gelungan rambut hitamnya terurai tak beraturan. Kiaranya tampak kusam lama tergeletak di sudut peraduannya. Hatinya sangat perih, putera semata wayangnya sedang sakit keras.

Putera Ratu Pertiwi, bernama Pangeran Persada. Seorang Pangeran gagah perkasa dan bergelimang keelokan. Kharismanya termasyur hingga ujung-ujung dunia, Pesonanya adalah syair para Pujangga, keelokan parasnya adalah lagu para biduan. Tegap langkahnya adalah simfoni yang harmonis para pemusik. Puji-pujian yang indah baginya.

Pangeran Persada ini memiliki keistimewaan. Pada waktu-waktu tertentu dia bisa berganti kepala. Kepala-kepala yang bergantian di tubuhnya tak membuatnya dilupakan orang. Namun sayang, belakangan ini ketika berganti kepala baru, tubuhnya berontak melawan.

Bulu-bulu kakinya meronta-ronta bersekongkol melakukan perlawanan. Masing-masing hendak beranjak dari tempatnya tumbuh dan tertanam. Itu belum seberapa. Sekarang tangan dan kakinya berebut ingin menjadi kepala. Sehingga kaki menendang-nendang kepalanya tanpa henti, tangan menampar kepalanya terus menerus. Pangeran Persada tak sanggup mengendalikan tubuhnya sendiri.

Pertengkaran anggota tubuh sang Pangeran Persada makin menggila. Entah bagaimana awalnya, semua anggota tubuhnya kini bermulut juga bersuara lantang. Setiap hari anggota tubuhnya bertengkar hebat. Riuh rendah suaranya kalahkan erangan Pangeran Persada.

Para Tabib di istana tak ada yang sanggup menemukan penyebab sakitnya. Ramuan pusaka yang selama ini mujarab sekalipun tak mampu mengurangi penderitaan Pangeran Persada

Ratu Pertiwi tak kuasa menahan kepedihan, isak tangisnya tak bisa dibendung lagi. Airmatanya terus menerus mengalir. Tiba-tiba saja dia teringat Sahabat-nya. Satrio Piningit namanya.

Satrio Piningit adalah Putera Tunggal Raja Semesta. Dia adalah kesatria yang sakti mandraguna. Ditangannya diletakkan segala kuasa untuk menghidupkan dan mematikan, mengadakan dan meniadakan, merendahkan juga meninggikan. Nama Satrio Piningit ini sudah tersohor di seantero bumi.

Sekalipun memegang kekuasaan tertinggi di atas segala kerajaan, dan pedang keadilan selalu terselip di pinggangnya, kegemaran Satrio Piningit ini adalah menaburkan kedamaian. Mengajarkan pengampunan, juga menyulut cinta kasih di semua tempat.

Senang menjelajah dan berbuat kebaikan. Mencelikkan yang buta, menyembuhkan yang kusta, membuat yang timpang berjalan bahkan melompat. Dimana Satrio Piningit berada, disana tercipta banyak sekali keajaiban.

Maka Ratu Pertiwi mengutus para utusan untuk menjemput sang Satrio Piningit. Dan jawaban yang diberikan adalah,”Tunggu ya?! Masih banyak yang harus kukerjakan di sini. Aku pasti akan berkunjung ke kerajaan Ratu Pertiwi, jika semua urusanku di sini sudah selesai.”

Ratu Pertiwi bersabar menantikan kedatangan Satrio Piningit, sebagai sahabat dia sudah sangat mahfuz dengan kebiasaan Satrio Piningit yang selalu sibuk untuk menolong banyak orang. Ratu Pertiwi percaya Satrio Piningit pasti akan menolongnya.

Keriuhan kembali terdengar dari kamar Pangeran Persada, kini tangan kirinya berusaha memantik api membakar hati sang Pangeran. Sepuluh dayang yang merawatnya kewalahan menahan pemberontakan anggota tubuh Pangeran Persada.

Pesona Pangeran Persada seolah lenyap. Luka-luka ditubuhnya menebarkan bau anyir. Dan keperkasaannya menyusut dalam daging dan tulangnya. Erangan demi erangan keluar dari mulutnya. Suaranya makin pelan tak berdaya.

Ratu Pertiwi tak sanggup menyaksikan penderitaan puteranya. Namun dia tetap bersabar untuk merawat dan mendampinginya. Ratu Pertiwi hanya menjauh dari Pangeran Persada tatkala dia harus menghindari pukulan tak terkendali dari tangan dan kaki Pangeran yang masih juga ingin menggantikan kepala Sang Pangeran.

Dayang-dayang perawat istana banyak yang mengundurkan diri karena tak tahan dengan bau busuk tubuh Pangeran Persada. Kehidupan berkesenianpun terhenti. Tak ada lagu-lagu biduan yang lembut untuk melepaskan lelah dan kepenatan, tak ada musik yang ditabuh halus, tidak jua musik yang riang terdengar. Negeri Ratu Pertiwi senyap seakan tidak berpenghuni. Bau anyir tubuh Pangeran Persada membuat lumpuh semua aktivitas negeri. Seluruh rakyat memilih untuk berdiam diri di rumah. Membiarkan sawah, ladang, juga ternak terlantar.

Kemampuan Pangeran Persada untuk bertahan sudah sampai di titik nadirnya. Kini mulut-mulut di anggota tubuhnya tidak lagi berdaya untuk berteriak, tangan dan kakinya lunglai tak mampu lagi menendang ataupun menampar.

Dalam kesenyapan, sampailah Pangeran Persada pada takdir yang memutuskan untuk kembali ke haribaan Raja Semesta. Sedu sedan Ratu Pertiwi meledak memenuhi negeri, tangisan para dayang yang setia terdengar keras. Jantung kota seakan ikut berhenti bedenyut. Duka menggelayut, bendera perkabunganpun dikibarkan.

Di hari ketiga meninggalnya Pangeran Persada, datanglah rombongan Satrio Piningit di kerajaan Ratu Pertiwi. Melihat bendera perkabungan di seluruh negeri, mengertilah Satrio Piningit bahwa Pangeran Persada sudah tiada.

Maka bergegaslah Satrio Piningit menjumpai Ratu Pertiwi. Ketika dia bersama rombongan sampai di kerajaan, bersegeralah Ratu Pertiwi menemuinya. Tersungkur di kaki Satrio Piningit, melepaskan tangisannya di sana, dan berkata sendu,”Satrio, andaikata waktu itu kamu datang, pastilah dia sembuh. Kini semua sudah terlambat!”

Tidak ada kemarahan dari Ratu Pertiwi, dia menerima takdir Pangeran Persada dengan hati yang ikhlas. Keikhlasan Ratu Pertiwi, juga tangisannya meluluhlantakkan hati Satrio Piningit. Maka mengangislah Putra Tunggal Raja Persada, dengan lembut dibangunkannya Ratu Pertiwi dari sujudnya dan berkata,”Dimanakah kau makamkan dia? Aku mau membangunkannya!”

“Satrio, sudah tiga hari yang lalu dia meninggal, selain banyak luka di dalam jasadnya bukankah dia sudah membusuk dan pasti baunya sangat menyengat?”jawab Ratu Pertiwi

“Percayalah kepadaku, Ratu! Bukankah Ayahanda Raja Semesta sudah memberikan segala kuasa kepadaku? Bukankah dengan kuasa itu Aku sanggup mengadakan dan meniadakan? Menghidupkan dan mematikan bukanlah hal yang sulit bagiku. Bukalah kuburnya!” Perintah Satrio Piningit.

Adapun makam Pangeran Persada terbuat dari Goa Batu, ditutup batu besar untuk menghindari tercemarnya tanah pertiwi dari sakit aneh yang dideritanya. Juga tutup goa yang dari batu untuk menutupi bau busuk dari tubuh Pangeran Persada.

Maka Hulubalang memerintahkan para prajurit untuk mengangkat batu penutup makam itu. Para hadirin menutup hidungnya. Mereka ingin menyaksikan apakah Satrio Piningit mampu membangkitkan Pangeran Persada?

Kesangsian rakyat membuat Satrio Piningit masygul, namun rasa asih dalam hatinya membuat Satrio Piningit tetap melakukan tugasnya. Ketika kubur dibuka, dengan suara yang lantang dan berwibawa Satrio Piningit berkata,”Pangeran Persada, bangunlah!!”

Semesta diam, angin berhenti berhembus, burung-burung menghentikan kicauannya, senyap sejenak semua seakan tersentak mendengar suara yang penuh kuasa itu. Dan......terjadilah keajaiban, tubuh Pangeran Persada yang sudah hancur pulih seketika. Bau anyir dan busuk lenyap, dan Ruh pun datang kembali pada jasad yang sudah dipulihkan. Dengan kaki dan tangan yang masih terikat kain kafan, Pangeran Persada bangkit dari kematiannya.

Sukacita melanda, tempik sorak membahana di seluruh negeri. Kesenian hidup kembali, syair, sajak, lagu, musik, juga kegirangan memenuhi negeri pertiwi. Kembali Ratu Pertiwi bersujud di kaki Satrio Piningit.

“Segala Puji bagi Satrio Piningit, tak ada kata terlambat. Karena segala kuasa sudah berada ditangan Satrio Piningit!!”

Satrio Piningit tersenyum, berlalu dari Negeri Pertiwi, melanjutkan perjalanannya untuk menebar cinta, kedamaian, juga keajaiban di tempat-tempat lainnya.***

Ide cerita : Yohanes 11
Indonesia ini sudah sakit parah, ilmu politik, hukum, ekonomi, juga pengetahuan lain tidak akan pernah mampu menyembuhkannya.
Hukum yang carut marut tidak akan bisa dirapikan dengan peraturan yang lebih keras
Hukuman tidak akan membuat orang jera melakukan kesalahan
Hukum tidak mampu membawa orang insyaf dari kesalahan dan kedurhakaannya
Negeri ini tetap membutuhkan orang-orang pintar dan hukum yang jelas. Namun di atas semua itu negeri ini butuh dilawat oleh TUHAN sendiri. Negeri ini..butuh pendoa-pendoa yang militan.
Karena keinsyafan tidak bisa diciptakan oleh peraturan, keinsyafan datang ketika Tuhan melawat umat-umat-NYA.
Berhentilah mencela pempimpin negeri ini, berhentilah bekomentar seperti orang yang paling bijak.
Mulailah berdoa bagi kesejahteraan negeri yang saat ini kita diami. God Bless You All.

Minggu, 13 Februari 2011

Purple Valentine

Waaah…sudah pagi lagi !!! Selamat pagi semuanya  selamat pagi Tuhan, selamat pagi matahari, selamat pagi anak-anakku yang ganteng-ganteng dan lucu-lucu. Selamat pagi teman-teman semua!! Apa kabar semuanya? Doaku kalian semua dalam keadaan sehat dan bahagia.

Haha…aku bersyukur sekali pagi ini masih bisa bangun dalam keadaan sehat, segar bugar tak kurang suatu apapun. Masih bisa merasakan kecupan mesra dari dua jagoanku. Masih bisa menyapa ramah tetangga-tetanggaku, juga tersenyum pada para bule yang sedang jalan pagi di Lingkar Mega Kuningan. Oh ya..hari ini juga aku masih bisa memandang iri kepada pasangan India yang sudah tua tapi tetap mesra, diam-diam aku mendoakan mereka agar mereka selalu bersama dalam keadaan yang sehat dan bahagia.

Hari ini sama seperti kemarin, matahari masih terbit dari ufuk timur tak ada yang berubah. Hanya saja aku berusaha menepati janjiku untuk mulai mengawali hidup dengan lebih bersemangat. Boleh kan?

Saya tidak mengingkari tentang lilitan kain kabung yang masih belum sepenuhnya terlepas. Juga abu perkabungan belum sepenuhnya tersingkir dari dahi saya. Tapi apakah itu berarti saya tidak bisa menikmati hidup dalam limpahan kasih sayang lagi?

Tidak, setiap hari yang saya jalani bersama dengan Tuhan, adalah hari yang penuh dengan limpahan rahmat dan kasih sayang. Tuhan benar-benar menepati janji-Nya untuk tidak membiarkan atau meninggalkan saya. Melalui sentuhan langsung-Nya, melalui sentuhan dari teman-teman yang penuh kehangatan. Saya tidak pernah merasa sendirian.

Kehilangan kekasih secara mendadak memang sangat menyakitkan. Namun Tuhan tidak pernah meninggalkan saya baik secara mendadak ataupun perlahan. Seringkali saya tersungkur di bawah kakinya tanpa kata-kata. Membiarkan airmata berbicara kepada-Nya. Supaya setelah waktu bersujudku, aku sanggup tersenyum. Supaya setelah waktuku terjatuh di bawah kaki-Nya…aku sanggup menghibur orang yang putus asa. Supaya aku bisa memberikan pelukan hangat bagi anak-anakku, juga orang yang yang sedang lemah. Supaya aku bisa menyemangati mereka yang sedang sakit, menenangkan mereka yang gelisah.

Banyak teman yang bertanya,”Bagaimana bisa kamu begitu kuat?”.. Ooh..tidak teman, aku tidak kuat, aku juga bukan orang yang sangat tegar. Kalau kau ingin tau betapa rapuhnya aku, datanglah kepada Tuhan….perhatikan di jumbai Jubah-Nya..ada bercak-bercak bekas airmataku yang tercurah..meluber dari kirbat yang digunakan-Nya untuk menampung setiap tetes airmataku.

Mungkin kau bertanya,”Bagaimana kau yang mengaku rapuh bisa berbuat seperti orang yang kuat?” “Hey..hey…aku dikuatkan-Nya melalui doa-doa kalian. Melalui kesediaan tulus kalian menemaniku entah melalui YM, SMS, Kiriman-kiriman di saat Natal, Juga sapaan di waktu-waktu senggangmu! Makasih ya? Karena kalian sudah mau menjadi saluran kasih sayang Tuhan bagiku!”

DIA benar-benar menepati janji-Nya. Membereskan hal-hal yang tak sanggup saya bereskan. Menemani saya setiap waktu, dan mengijinkan saya melihat tangan yang menggengam saya di alam yang tak terlihat. 

Dia memberikan kepadaku Malaikat-Malaikat yang bisa menyentuhku. Yang bisa mengajakku tertawa saat duka mengajakku untuk murung. Yang mengingatkanku untuk terus optimis ketika kepedihan mengajakku menjadi pesimis. Yang ikut memperhatikan nasibku hingga aku menjadi lebih sanggup menghadapi hidup kesendirianku.

Ah…terlalu banyak berkat yang Tuhan berikan kepadaku dan anak-anak… terlalu banyak. Dan untuk itu aku bersyukur dan bersyukur. Aku memang masih memerlukan waktu untuk menata hidupku.

Perasaanku masih sering tiba-tiba tak menentu. Airmataku masih sering tiba-tiba bergulir jatuh. Tapi aku bersyukur punya Tuhan yang baik dan memeliharaku. Aku bersyukur punya malaikat-malaikat yg bisa kusentuh…(anak-anakku, pembantu-ku, para atasanku, teman-teman sejawatku, teman-teman sepelayananku, teman-teman milis yang selalu berapi-api, teman-teman blogku yang luar biasa penuh cinta)..hm..kalian sungguh berkat yang tidak ternilai harganya.

Hari ini….aku bersyukur, bisa menepati janji mengenakan dresscode yang disepakati kantor (merah atau pink) untuk merayakan Valentine Day. Aku bersyukur berhasil mendapatkan semangat baru untuk melaju di atas Vario Techno merahku.

Hari ini..dalam damai dan kuatku, aku ingin menyampaikan,”Selamat Hari Valentine (bagi yang masih mau merayakannya), semoga setiap hari adalah hari kasih sayang bagi kita semua!”

Selamat menikmati kasih sayang Tuhan yang senantiasa melimpah atas kita semua. Bagi yang masih memiliki pasangan, Cintai dan hormati pasanganmu selalu..karena kalian tidak pernah tahu sampai kapan kalian bisa terus bersama-sama. Aku berdoa kalian semua panjang jodoh, sehingga bisa puas menikmati perjodohan yang Tuhan berikan hingga usia tua.

Dengan Penuh Cinta, tulisan sederhana ini dipersembahkan untuk : Tuhan Yesus (My True Valentine), Jefri Jolly Kolondam (yang lagi hepi-hepi di Surga  Hai Darling, Happy Valentine ya? ), Farrel dan Joshua (kalian adalah salah satu alasan bagi mama untuk tetap hidup dan waras),Kakak-kakakku (yang sangat baik dan hangat), Teman-teman (Gereja,Kantor, Milis, Blog) yang setia memantau keadaan kami memberikan perhatian yang cukup sehingga saya tidak merasa sendiri. Cinta kalian semua…membuat ..setiap hariku..adalah Hari Kasih Sayang. HAPPY VALENTINE DAY!!