Selasa, 22 November 2011

Tidak Cukup Menghapal

Siang hari yang terik dengan semangkuk irisan buah ditanganku, aku menikmati semilir angin yang menerobos masuk di Loji Pastoral. Om Yo, demikian aku memanggilnya tengah asyik mengamati beberapa kaktus koleksi Tante Hanna istrinya.

Oh iya, Loji Pastoral itu sebutan ibu untuk pastory gerejaku. Ini adalah rumah kedua yang sudah pasti selalu aku rindukan setelah rumahku sendiri.Jika kebetulan waktu lesku tidak terlalu jauh dari jam pulangku, seringkali aku lebih memilih untuk langsung beristirahat di pastory yang letaknya lebih dekat dibandingkan dengan jarak tempuh rumah dan tempat kursus.

Seperti biasa aku duduk santai sambil mendengarkan para penghuni yang berbincang dan bercanda. Om Yo, duduk di sebelahku. Sementara Tante Hanna seperti biasa membujukku untuk mau makan siang. Dan terus menerus menasihati bahwa buah saja tidak cukup untuk memberiku energy. Wah, beliau tidak tahu, semangkuk irisan buah siang itu tetap saja membuat aku sanggup untuk pecicilan ke sana sini.

Tak berapa lama, muncul beberapa orang melintas di selasar pastory. Dari sekian orang itu aku mengenal mereka karena kami sesama anggota jemaat. Namun ada dua atau tiga orang yang tidak aku kenal. Yang membuat aku sedikit tercekat adalah mereka mengenakan kostum kepercayaan yang berseberangan dengan kami.

Mereka mengangguk sopan dan penuh hormat kepada Om Yo dan Tante Hanna. Dengan ramah mereka dipersilahkan masuk untuk bergabung ke ruang makan untuk bersantap siang. Tidak ada mimic muka yang aneh dari Om dan Tante. Mereka santai saja seolah tidak terjadi sesuatu yang istimewa.

Sementara mata dan pikiranku sibuk menelisik, Om Yo bertanya,”Mengapa?”

Bukannya menjawab aku malah balik bertanya,”Siapa?”

Om Yo mengangkat kedua alisnya

“Mereka tadi siapa?”tegasku

“Oh..itu.. mereka buruh pabrik sebelah. Memang biasa ikut makan siang di sini bersama si Agus (samaran)

“Tapi ….?” Tanyaku menggantung karena ku lihat tidak ada yang mereka permasalahkan dari peristiwa yang aku anggap langka.

Om Yo paham dengan pertanyaan menggantung itu. Beliau paham sekali bahwa waktu itu aku masih sangat belia. Sedang berapi-api dalam cinta-Nya, namun belum berimbang dalam menyikapi hidup.

“Kau tahu hukum kasih, Ris?” Tanya beliau

“Tentu saja, di luar kepala malah!” Jawabku sambil menjentikkan ujung kelingkingku

“Bisa kau sebutkan hukum kasih yang kedua sekarang?” lagi Tanya Om Yo“

“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”jawabku

“Coba ulangi lagi?!” pintanya

“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”lagi jawabku

“Coba ulangi lagi?!”lagi pintanya

Aku mendengus kesal, merasa dikerjai. Beliau tersenyum menyentuh pundakku dan berkata,”Perintah Tuhan adalah kasihilah sesamamu manusia. Tuhan Yesus tidak berkata kasihilah sesama agamamu. Tuhan Yesus berkata kasihilah sesamamu manusia tidak tergantung apakah mereka dari suku atau agama yang sama!”


Aku terdiam, betapa tiba-tiba aku merasa kecil dan menjadi merasa tidak tahu banyak setelah penjabaran itu.

“Wis dong, Ndhuk (sudah paham, ndhuk)?!”Tanya beliau seraya tersenyum

Lagi-lagi aku diam tidak menyahut. Beliau pun melanjutkan aktivitasnya meninggalkan aku sendirian merenung.

Siang itu api fanatic yang membakar hatiku padam seketika, berganti aliran kasih yang sejuk. Siang itu semangat fanatic yang salah merapuh, digantikan pengertian baru. Bahwa kasih merangkul banyak perbedaan. Kasih artinya menabur kebajikan di banyak ladang. Kasih artinya sanggup hidup berdampingan bahkan berpelukan dalam keragaman

Siang itu, aku belajar bahwa memang penting membaca dan menghapal banyak ayat alkitab. Tapi yang lebih penting dan menyenangkan hati Tuhan adalah, ketika aku memahami dan menjadi pelaku Firman-Nya.

ayat referensi :
Mat 22:39 Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

Yak 1:22 Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.

3 komentar:

DV mengatakan...

Hmmm menyejukkan.. eh kok ada GPDI Ngunut segala? :)) *uhuk

The Servant Leader mengatakan...

Seperti pepatah, “Kita bisa memberi tanpa mengasihi namun kita tidak mugkin mengasihi tanpa memberi”.

Honey mengatakan...

salam kenal dari Pontianak, tadi lagi blogwalking jadi nyasar ke sini :)