Kamis, 17 September 2009

Resep Untuk Memiliki Anak

“Eh, Ris ngomong-ngomong, kamu tuh termasuk ngebut ya dalam bikin anak? Dalam setahun bisa melahirkan dua orang anak!” cetus teman saya di suatu siang

“Ngebut?? Kamu pikir ini disengaja gitu? Waktu aku tahu hamil anak yang kedua dengan jeda waktu hanya dua bulan setelah melahirkan anak pertama, rasanya seperti mau pingsan. Sudah kebayang repotnya, sudah kebayang pusingnya, belum lagi secara fisik tentunya belum terlalu siap karena saya melahirkan secara caesar!” jawab saya.

“Resepnya apa sih Ris, bisa beruntun gitu hamilnya? Aku kok ga hamil-hamil lagi ya? Padahal jarak anakku sudah jauh lho!” sahut teman saya

Di lain waktu, ada lagi teman yang curhat tentang kerinduannya memiliki momongan. Lagi – lagi saya ditanya,”Resepnya apa kok bisa ‘mbrudul’ gitu?”

Pertanyaan-pertanyaan itu sejujurnya justru mengingatkan saya atas kesalahan ketika tanpa disadari sempat menolak janin (anak kedua) karena jarak yang begitu pendek dengan kelahiran si sulung.

Penolakan yang hanya berhenti di perasaan, karena toh saya tetap saja memutuskan untuk meneruskan kehamilan saya yang kedua meskipun bingung, takut, dan kuatir dengan perjalanan hidup yang akan saya lalui. Sedikit catatan, waktu itu kami sedang menghadapi “badai-badai” kecil di dalam rumah tangga. Hanya karena rasa takut kepada Tuhan saja, yang membuat saya tetap mempertahankan dan menjaga kehamilan kedua dengan segenap hati dan tenaga. Dan hanya oleh kasih karunia-Nya saja, kami tetap waras dalam menghadapi setiap guncangan hidup.

Belum lagi ketika si bungsu lahir, saya bergumul dengan rasa bersalah kepada si sulung karena perhatian saya terpecah di saat dia masih butuh bimbingan dan perhatian yang utuh dari saya. Ada berbagai pergolakan batin yang membuat saya (tanpa sadar) kurang menyayangi anak kedua ini.

Seiring meredanya “badai-badai” kecil yang kami hadapi, perasaan cinta saya kepada Joshua (anak kedua saya) bertumbuh, tambah sayang, tambah cinta, tambah sering kangen.. persis seperti apa yang saya rasakan kepada Farrel (anak sulung saya).

Dan pertanyaan teman-teman tentang tips memiliki anak yang ‘mbrudul” (berturut-turut dalam waktu singkat) itu mengingatkan saya untuk mensyukuri kehamilan, sekalipun kehamilan kedua saya sudah berlalu satu tahun lima bulan yang lalu. Rasa syukur yang mungkin terlambat..but..its better late than never.

Memang seharusnya saya bersyukur dengan kehamilan beruntun dalam waktu dekat itu. Mengingat saya memiliki riwayat kesehatan yang cukup buruk dimasa lalu. Dan kesempatan untuk mengandung, melahirkan, dan membesarkan mereka adalah mujizat yang begitu indah dalam hidup saya.

Cerita ini yang saya bagikan kepada teman-teman curhat-er , untuk membesarkan hati mereka, membangkitkan harapan mereka supaya tetap bersemangat dalam doa dan ikhtiar yang tiada henti.

***

Ketika saya SMA (saya lupa kelas berapa tepatnya) perut kanan sakit, nyeri jika berjalan dan bergerak. Semakin lama semakin kelihatan menonjol lebih besar daripada telur ayam. Bahkan ketika saya merabanya terasa ada bulatan yang keras dan terasa semakin membesar.

Sudah beberapa kali ke dokter umum, dan diagnosanya appendicitis (sakit usus buntu). Tapi kok perasaan saya bicara lain ya? Ketika membuka gambar anatomi, saya mengambil kesimpulan sendiri bahwa yang sakit adalah bagian indung telur. Saya dan Ibu waktu itu memutuskan untuk segera mengunjungi Dokter Specialis Penyakit Dalam. Rasanya lajang manapun akan menghindari untuk ke dokter kandungan, bukan? Ada rasa terbeban yg sulit dijelaskan jika ke dokter kandungan saat masih gadis.

Dan benar saja, ketika di USG oleh Dokter SPd, kedapatan ada infeksi di indung telur saya sebelah kanan. Beliau mengatakan diobati dulu 1 minggu, jika tidak mereda mesti ke Ginekolog. Hayaaa….Dokter Kandungan? Oh My God! Selama satu minggu itu tak henti henti saya memanjatkan doa supaya obat dari Dokter SPd itu cukup menjadi sarana kesembuhan untuk saya. Dan? Terkabul!! Ketika USG kembali, sudah pulih, dengan catatan, tidak boleh terjadi infeksi lagi atau akan mengalami penyumbatan yang menyebabkan kemandulan.

Nah, apa yang seharusnya tidak boleh terjadi, terjadi lagi ketika saya sudah bekerja (masih lajang juga). Dan kali ini saya harus berurusan dengan Ginekolog. Mendengar penuturan beliau tentang kemungkian buruk bahwa kemungkinan saya punya anak tinggal 50%, karena infeksi ovarium memungkinkan timbulnya penyumbatan saluran pembuahan, membuat saya down berhari-hari. Hingga akhirnya saya bisa berserah dan menerima kenyataan kalau seandainya vonis dokter benar terjadi.

Belum ada titik terang tentang penyakit ini, menyusul penyakit lain yang sama-sama mengurangi kesuburan. Tiba-tiba leher saya bengkak (bukan benjol,ya), saya sering berdebar-debar, batuk di malam hari, hingga sesak napas. Hasil tes darah menyatakan bahwa saya menderita Hyperthyroid..Duh, serasa makin hancur masa depan saya.

Puji Tuhan, oleh karena perkenan-Nya, hypertiroid saya sembuh. Tapi tentang kemungkinan punya anak tetap menjadi tanda tanya besar dalam hidup saya waktu itu.

Hal ini, membuat saya menetapkan standart jodoh. Kalau memang jodoh, maka salah satu cirinya adalah bisa menerima kemungkinan terburuk yang akan saya sampaikan.

Bertemu dengan pria yang sekarang menjadi suami dan bapak dari anak-anak saya. Pernyataan yang menjawab pinangannya adalah,”Aku kemungkinan besar akan sulit punya anak,lho! Bisa gak kamu terima aku yang kemungkinan bakal mandul?”

Dia tercenung sesaat, dan saya bersiap jika akhirnya dia memutuskan untuk mundur. Lalu dia pun menjawab dengan jawaban yang sama sekali tidak saya sangka,”Gak apa-apa, saya toh sudah mantap sama kamu Ris! Tapi, gak salah kan kalau seandainya sedari sekarang kita bersepakat untuk meminta kepada Tuhan agar DIA memberkati rumah tangga kita kelak dengan anak-anak? Kamu gak keberatan kan menjadikan ini sebagai pokok doa kita sebelum menikah?”

Mat 18:19 Dan ketahuilah juga: Kalau di antara kalian di dunia ini dua orang sepakat mengenai apa saja dan mendoakannya, doa itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku di surga.

Ayat ini yang menjadikan Rhema bagi kami untuk terus berdoa (sementara tanpa usaha, karena kami belum menikah) untuk anak.

Melihat kesungguhan calon saya waktu itu, mau tidak mau semangat dan iman saya pun ikut tersulut. Berdoa dengan yakin dan sungguh-sungguh. Bahkan ketika hendak ‘bermalam pertama’ pria tercinta saya ini masih sempat untuk berdoa meminta berkat bagi kandungan saya. Terharu, mengaminkan, dan mengimani doa yang dia imami waktu itu.

Dan jika sebulan setelah menikah saya mendapati test pack dengan dua garis, perasaan saya membuncah meskipun sesaat ketika melihat tetap saja membuat terkejut, melongo sesaat karena tidak percaya bahwa ternyata Tuhan mengabulkan doa kami. Vonis Dokter tinggal vonis, kehendak-NYA sajalah yang terjadi atas kami. Kebahagiaan kami tak terkira waktu itu, iman telah membawa kami kepada kasih karunia yang memenangkan perkara kami di hadapan Tuhan.

Teman-teman pembaca yang terkasih, jadi jika anda bertanya apa resepnya sehingga saya bisa punya anak… jawabannya,”tidak ada” selain daripada serentetan kisah kesaksian saya tersebut di atas.

Jangan putus harap jika kalian masih dalam penantian. Karena harapan itu kekuatan kita untuk terus berlayar dalam menjalani kehidupan ini. Percayalah…Tuhan selalu punya jalan keluar, bagi mereka yang mempercayakan hidupnya kepada DIA!

6 komentar:

Domba mengatakan...

hmmm setelah membaca kisah ini sepantasnyalah saya berkomentar bhw bu Riris dan bapak bs melewati hal yg terberat yaitu "memikirkan suatu masalah"...Memikirkan masalah lbh berat malah menambah berat dari masalah itu sendiri.. katanya

Anonim mengatakan...

Wah, sharingnya mantap!

aku dan suami juga lagi mengusahakan punya anak. tpi kayaknya porsi doanya kurang deh...hihi..ngaku...
Semoga usaha kami diberkati Tuhan deh...

salam,
nana

p u a k™ mengatakan...

Wah.. merinding aku baca tulisan ini..mbak'e..
Bersama Tuhan memang tidak ada yang mustahil.
Thanks!

Mengembalikan Jati Diri Bangsa mengatakan...

Wah udah berapa banyak anaknya Mbak, udah pinter bikin anak ya. Thanks infonya ya

Bisnis Internet | Mengembalikan Jati Diri Bangsa | Bisnis Tiket Pesawat | Kenali dan Kunjungi Objek Wisata di Pandeglang

narpen mengatakan...

Wah mbak, tulisannya bener2 deh..
Dengan riwayat seperti itu memiliki anak benar2 menjadi suatu anugerah tersendiri ya pastinya :)

JJ mengatakan...

hehe... aku & Jeff juga udah sepakat waktu pacaran dulu, yaitu menyerahkan soal anak semuanya ke Tuhan... kalau sampai tidak dikasi kepercayaan sama Dia, yah kita sepakat pacaran terus sampe tua... :)