Ibadah
pagi di sebuah Gereja Kharismatik :.
Pembicara
:”Ada Amin Saudara-saudara?”
Beberapa jemaat menjawab ada yang antusias
ada pula yang terpaksa menjawab “Amin”
Pembicara :” Kalau saudara ingin
diberkati, aminkan dengan semangat Firman Tuhan. Ada Amin saudara-saudara?
Jemaat
masih saja suam, meskipun jumlah suara sudah mulai bertambah banyak
P
: “Ada Amin saudara-saudara?”
Seorang
anak kecil dengan lantang menjawab,”Tidak ada Pak Pendeta!! Amin beragama Islam
jadi dia beribadah di Masjid sebelah!”
Cerita
tersebut pernah terjadi di sebuah gereja kecil di suatu tempat yang tidak perlu saya sebutkan. Namun
pertanyaan “Ada Amin?” sudah menjadi wabah yang kadang sulit dinalar. Saya
bukan anti mengucapkan “amin”. Ketika saya diberkati melalui perkataan ataupun
tulisan dengan spontan dan antusias pasti terucap “amin” dari mulut saya..
Tetapi ketika saya belum mengerti tentang kotbah yang sedang dijabarkan, saya
lebih baik berdiam, merenung, dan
meminta Roh Kudus untuk membuat saya mengerti.
Saya
tidak tahu apa yang menjadi dasar pertanyaan “ada amin” yang berkali-kali dalam
sebuah kotbah. Terkadang, jujur saya merasa terganggu dengan pertanyaan itu.
Terganggu karena saya sedang mencoba merenungkan kata demi kata yang keluar
melalui Pengkotbah.
Namun
saya berusaha memahami, mungkin Hamba Tuhan tersebut ingin membangun suasana,
supaya jemaat tidak mengantuk, dsb. Tapi sekali lagi, perlukah jemaat “dipaksa”
mengaminkan sesuatu yang mungkin saja belum mereka tangkap dengan baik?
Bagi
saya tugas seorang Pengkhotbah adalah mewakili Tuhan untuk “menyuapi”
domba-domba-NYA. Si Domba ada yang sudah dewasa dan cepat tanggap ada pula yang
masih kanak-kanak yang perlu mengunyah, mencerna, dan memamah biak makanan yang
diberikan. Domba-domba yang sudah “klik” dengan apa yang disampaikan
pengkhotbah akan dengan mudah mengaminkan Firman Tuhan yang disampaikan.
Sedangkan domba kanak-kanak yang mesti mengunyah, mencerna yaa…perlu waktu
untuk mengatakan,”Amin. Terima kasih Tuhan”
Ibadah
yang hidup bukan soal seberapa ramai paduan suara yang mengatakan,”Amin” Ibadah
yang hidup adalah ibadah yang antusias dan memberikan dampak dalam kehidupan
sehari-hari. Karena kehidupan Kekristenan yang sesungguhnya terjadi di luar
gereja. Ketika seseorang hidup dalam kesehariannya dengan orang-orang yang
berbeda ragam.
Bukankah
lebih bijak ketika Jemaat “dingin” dalam
mengucapkan “amin” para pengkhotbah
menanyakan,”Apakah Bapak Ibu Saudara sekalian sudah mengerti apa yang saya
sampaikan? Kalau bingung yang mana yang membingungkan?” Saya yakin hamba-hamba
Tuhan juga dibekali kepekaan untuk membaca situasi hati jemaat yang sedang
dilayani.
Ketika
jemaat diam, mungkin saja mereka ngantuk…(berusahalah untuk menjadi pengkotbah
yang tidak menjemukan)
Ketika
Jemaat diam, mungkin saja mereka mengunyah dan mencerna makanan yang sedang
disajikan.
Ketika
Jemaat diam, mungkin saja mereka bingung dengan apa yang sedang Bapak / Ibu
bicarakan (jadi…gunakan hikmat Allah untuk berkata-kata dalam bahasa yang bisa
dimengerti)
Ketika
Jemaat diam….bisa jadi mereka tengah meresapi, merenungkan, dan tengah sibuk
menanam dalam-dalam benih Firman Tuhan yang disemai.
Jadi…jangan
pernah mengintimidasi Jemaat yang sedang berat “mengaminkan” sesuatu. Karena
untuk segala sesuatu ada alasan dan penyebabnya. Teruslah menabur, teruslah
menyuapi domba-domba, tentang tuaian…Tuhan yang atur. Haleluya !!
28 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar