Sabtu, 23 Juli 2011

10-09-10 ; 03.30

Bunga Rumput

Mzm 103 : 15-16 Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga;
apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi.

---
Sepuluh bulan yang lalu, ketika Hari Raya Idul Fitri tinggal beberapa hari, kami menyambutnya dengan penuh sukacita. Mengapa? Hari Raya Idul Fitri menjadi momen bagi kami berkumpul di keluarga besar di kampung halaman ikut bersukacita bersama kakak-kakak kami dan keluarga yang memeluk Agama Islam

Seperti biasa Jefri (suamiku) sangat bersemangat menyambut juga mempersiapkan liburan kami. Jef berangan-angan akan meminta beberapa benih bunga anggrek, juga bunga-bunga langka yang tumbuh di pelataran rumahku. Dia sangat menyukai kegiatan bercocok tanam. Bahkan sudut halaman kontrakan kami pun penuh bunga hias yang terurus dengan baik. Selain bercocok tanam, Jefri juga menyukai unggas, itu sebabnya sebagian gudang kecil kami yang di luar ruangan dijadikan kandang merpati.

Membayangkan bertemu tanaman-tanaman hias saja sudah membuatnya berbinar-binar apalagi dia membayangkan pecel Tulungagung dengan rasa yang khas. Setiap kami berkumpul seusai bekerja dia selalu membahas tentang liburan yang akan kami jalani.

Mengingat Jefri memiliki riwayat hipertensi, saya memintanya untuk memeriksakan diri sebelum kami berlibur. Hasil pemeriksaan semua normal. Tekanan darahnya 120/90, kolesterol dan asam urat juga normal.

Tiba hari yang dinantikan, kami bersama keluarga kakak berangkat beriringan menggunakan mobil pribadi. Kakak dan keluarga disopiri oleh keponakan saya bergantian dengan kakak ipar, sementara rombongan kami disopiri oleh sopir keluarga kakak.

Setelah singgah di Jogja untuk beristirahat semalaman, kami melanjutkan perjalanan menuju Jawa Timur. Seperti kemarin-kemarin, Jefri tidak mengeluhkan apapun selain ingin pijat di tukang urut langganan kami. Semua berjalan normal. Dia senang bahkan terlihat sangat senang melihat tetumbuhan hijau di halaman rumah. Mendengar kokok ayam jantan yang dipelihara kakak, bahkan melihat kecipak ikan gurame di kolam kami. Suasana dusun yang sebenarnya sudah lama kami rindukan.

“Ah, aku ingin menghabiskan sisa umurku di tempat ini, Ma!” ujarnya tiba-tiba. Saya hanya tertawa mengiyakan, tentu saja menunggu jika anak-anak sudah dewasa dan mapan 

Pagi itu ketika adzan Subuh berkumandang, Jef membangunkan aku untuk berdoa. Ketika berdoa, tidak seperti biasanya dengan sungguh-sungguh dia menyerahkan kami (aku dan anak-anak) ke dalam tangan Tuhan. Begitu amin, meskipun biasanya dia memang selalu mencium dan memelukku.. pagi itu terasa lain. Pelukannya sangat erat, sampai saya sulit bernafas.

Singkat cerita, ketika malam hari berkumpul dan bercerita dengan keluarga besar tiba-tiba Jefri pamit untuk istirahat katanya tiba-tiba tidak enak badan. Saya menyusulnya untuk melihat keadaannya. Dia gelisah dan merintih dan tiba-tiba saja berlari ke ruang keluarga lalu hampir pingsan.

Hampir tengah malam..saya jejeritan histeris. Bagaimana tidak? Seharian dia tidak menunjukkan sakit apa-apa, seharian dia bercanda dan tertawa bersama kami, lalu tiba-tiba tubuh gempalnya roboh tak berdaya. Dengan sigap kakak-kakak kami mengangkatnya ke mobil untuk dilarikan ke Rumah Sakit terdekat. Mendengar aku histeris, dia mengangkat dan melambaikan tangannya sambil berbisik sesuatu (belakangan aku tahu dia bilang “Sabar!”).

Keterbatasan fasilitas di Rumah Sakit daerah membuatnya dirujuk ke rumah sakit pusat. Kesadarannya makin menurun. Hasil SCAN dinyatakan ada beberapa pembuluh darah yang pecah. Ketika saya melihat rekaman medic itu, seketika saya lunglai. Ada tujuh titik pembuluh darah yang pecah. Hampir semua bagian otaknya tertutup darah.

Aku seperti dilemparkan ke pulau tak berpenghuni. Sunyi dan menakutkan. Lutut gemetar seiring dengan degup jantung yang tak menentu. Duduk di dekatnya, sembari menyusun kalimat doa.

“Ya Allah Roh Kudus, bimbinglah aku untuk berdoa sesuai dengan keinginan Yesus. Saat ini aku benar-benar tidak tahu bagaimana aku harus berdoa.”bisik saya.

Beberapa kali saya membimbing Jef untuk terus mengingat Yesus, berdoa kepada-Nya. Juga berserah total kepada kehendak-Nya. Ketika doa-doa itu kubisikkan, aliran ketenangan masuk ke dalam batinku. Ketenangan itu yang membuat aku bisa berdiri tegak meskipun hatiku sakit melihat orang yang kucintai bersusah payah bernafas untuk bertahan hidup.

Pukul 24.00 waktu setempat, nafas berat Jefri semakin jarang terdengar. “Tuhan Yesus, jadilah apa yang Engkau kehendaki. Namun aku meminta sesuatu dan tolong jangan ditolak. Jika Engkau menghendaki Jeff kembali ke pangkuan-Mu, tolong jangan biarkan aku menjadi GILA. Juga tolong aku untuk tidak menjadi kecewa lalu menyangkal Engkau. Sekarang, tolonglah aku untuk melakukan apa yang harus aku lakukan.”

Melihat Jeff berjibaku melawan maut membuat hati saya benar-benar hancur. Aku menguatkan hati untuk membisikkan sesuatu kepadanya.

“Pa, aku mencintaimu seperti kamu mencintaiku. Aku ingin kamu sembuh, bangun dan ceria seperti biasanya. Tapi...jika TUHAN YESUS sudah mengajakmu pergi...pergilah dengan tenang. Jangan kuatir tentang aku dan anak-anak. Karena TUHAN YESUS yang membawamu pergi, DIA juga yang akan mengurus kami di sini.”

Napas Jef makin jarang, Pukul 03.00 saya kembali menyerahkan semua keputusan dalam tangan Tuhan, tunduk tanpa perlawanan. Pukul 03.30, tekanan darahnya turun drastis, nafasnya makin jarang.

Dokter meminta saya untuk membimbingnya berdoa, tahulah saya apa artinya. Sambil menahan tangis, kembali saya menyampaikan maaf, mengatakan padanya untuk pergi dengan tenang bersama Tuhan Yesus, dan memimpinnya berdoa penyerahan.

Tepat setelah kata “Amin” saya ucapkan. Jeff berpulang. Separuh dari bagian hidupku seolah melayang. Aku menangis dalam pelukan kakakku. Perih, hancur, bahkan terasa linglung saat itu..bahkan mengabari mama di Manado pun sambil jejeritan. Aku bahkan hampir saja melupakan perasaan Mama mertua yang 6 bulan sebelumnya kehilangan Papa.

10-09-10,03.40, Jeff pergi dengan tenang, meninggalkan senyum manisnya, cintanya, juga perhatiannya untuk dikenang.

Yah...aku, kamu, dia, mereka..sama-sama manusa yang semaraknya seperti bunga rumput. Sebentar terlihat dan segera sirna ketika panas memanggang dan angin berhembus kencang.

Terpujilah Tuhan!! Dia yang memberi, DIA juga yang mengambil.


Perjalanan hidup, juga banyaknya pelajaran yang kami lalui bersama telah membuat iman bangkit seperti biji sesawi. Tangisan juga jeritan pilu kepedihan yang terjadi tidak bisa menutupi apa yang di dalam hati.

Namun...damai sejahtera yang melampaui segala akal yang berasal dari Roh Kudus, dengan sigap mencengkeramku. Menjagaku untuk tetap waras hingga saat ini. (bersambung)

Selasa, 12 Juli 2011

Gereja Idaman

--sekedar menyelamatkan tulisan saya yang diposting di milis yg lagi rame *wink* --

“Sob, menurutmu, mengapa banyak orang eksodus dari Gereja yang lama?”Tanya seorang teman

“Hm..mungkin..karena belum mendapatkan Gereja Idaman!”jawabku sekenanya
Tanyanya lagi kepadaku,”Gereja idamanmu seperti apa, Sob?”

Aku tercenung, antara ingin menjawab jujur dan menjawab yang ideal agar telihat rohani. Disentuhnya punggung tanganku dan berkata,”Jujur saja, jangan takut”

Maka aku pun menjawab,”Gereja idaman bagiku adalah suatu tempat yang jika aku berkunjung ke sana aku merasa PULANG!”

Dia mengernyitkan dahi, aku pun melanjutkan opiniku.

Iya..merasa pulang!! Tegasku, merasa pulang berarti, aku mendapatkan sesuatu yang berbeda setelah berjibaku dengan dunia seminggu penuh. Merasa pulang berarti aku menjumpai hal-hal yang menyenangkan seperti ketika aku pulang dari bepergian jauh.

Merasa pulang berarti, ketika aku datang banyak orang yang menunjukkan betapa kedatanganku sangat diharapkan. Dan ketidakhadiranku adalah sepi dan memunculkan kerinduan.

Meja makan yang dipenuhi menu cinta kasih dengan aneka ragam rasa. Ramai kita saudara bersaudara berkumpul di sekelilingnya bersendagurau bertukar cerita dengan akrab tanpa malu. Menu wajib yang sangat aku rindukan adalah : menu yang menyegarkan, menu yang mengingatkan, menu yang menunjukkan arah, yang menyatakan kesalahan, menu yang memperbaiki kelakuan, juga menu yang membuatku menyukai hidup dalam kebenaran.

Menu-menu makan itu diracik dengan bumbu yang membumi, sehingga lidahku tak terasa asing. Menu-menu makan di atas disajikan dengan tangan-tangan manusiawi sehingga lidah dan lambungku tak menolak untuk diisi.

Jika aku kedapatan berbuat salah, layaknya dalam keluarga aku mau ditegur dan diarahkan dengan kasih, tanpa membuatku merasa dipermalukan atau diperlakukan seperti orang bodoh sedunia. Jika aku masih belum bertobat, aku mau dipukul dengan tongkat supaya hilang bebalku, tapi please..dengan penjelasan yang bisa aku cerna

Jika aku sedang jatuh, layaknya saudara aku ingin ditolong, didukung, hingga aku bisa berdiri kembali untuk melakukan tugas-tugasku. Bukan digosipin, bukan dihakimi, juga bukan didiagnosa sedang menderita “dosa” apa.

Jika aku menghilang, ada yang mencariku dengan cinta  bukannya sibuk menganalisa penyebabnya lalu menjadikannya cerita di belakang punggungku. Cerita yang mencoreng aib bagi mukaku. Ahai…taukah kamu? Dinding dan bangku gereja itu bertelinga juga bermulut, hingga kabar buruk yang tersebar bisa kembali ke korban lho.

Aku lebih rela ditegur dengan nyata, daripada dicium dengan ciuman yang palsu. Dan lebih suka mengerjakan tugas-tugas dengan baik daripada duduk berdebat ratusan teori, lalu berakhir dengan hati yang pahit. Karena masing-masing ingin tampak pintar. (pepesan kosong kan tidak membuat kenyang? Heleh!)

Ku rasa kurang lebih seperti itu gereja idamanku.

“Apakah kau sudah menemukan Gereja yang seperti itu, Sob?”Tanya temanku.

Aku hanya mengerling ke arah Yesus, tos dengan-Nya..lalu meninggalkan temanku itu. Membiarkan dia menebak jawaban atas pertanyaannya itu. ***

Sabtu, 09 Juli 2011

Ratu Pertiwi dan Satrio Piningit

Oleh : Riris

Ratu Pertiwi sedang gundah gulana. Matanya sembab, gelungan rambut hitamnya terurai tak beraturan. Kiaranya tampak kusam lama tergeletak di sudut peraduannya. Hatinya sangat perih, putera semata wayangnya sedang sakit keras.

Putera Ratu Pertiwi, bernama Pangeran Persada. Seorang Pangeran gagah perkasa dan bergelimang keelokan. Kharismanya termasyur hingga ujung-ujung dunia, Pesonanya adalah syair para Pujangga, keelokan parasnya adalah lagu para biduan. Tegap langkahnya adalah simfoni yang harmonis para pemusik. Puji-pujian yang indah baginya.

Pangeran Persada ini memiliki keistimewaan. Pada waktu-waktu tertentu dia bisa berganti kepala. Kepala-kepala yang bergantian di tubuhnya tak membuatnya dilupakan orang. Namun sayang, belakangan ini ketika berganti kepala baru, tubuhnya berontak melawan.

Bulu-bulu kakinya meronta-ronta bersekongkol melakukan perlawanan. Masing-masing hendak beranjak dari tempatnya tumbuh dan tertanam. Itu belum seberapa. Sekarang tangan dan kakinya berebut ingin menjadi kepala. Sehingga kaki menendang-nendang kepalanya tanpa henti, tangan menampar kepalanya terus menerus. Pangeran Persada tak sanggup mengendalikan tubuhnya sendiri.

Pertengkaran anggota tubuh sang Pangeran Persada makin menggila. Entah bagaimana awalnya, semua anggota tubuhnya kini bermulut juga bersuara lantang. Setiap hari anggota tubuhnya bertengkar hebat. Riuh rendah suaranya kalahkan erangan Pangeran Persada.

Para Tabib di istana tak ada yang sanggup menemukan penyebab sakitnya. Ramuan pusaka yang selama ini mujarab sekalipun tak mampu mengurangi penderitaan Pangeran Persada

Ratu Pertiwi tak kuasa menahan kepedihan, isak tangisnya tak bisa dibendung lagi. Airmatanya terus menerus mengalir. Tiba-tiba saja dia teringat Sahabat-nya. Satrio Piningit namanya.

Satrio Piningit adalah Putera Tunggal Raja Semesta. Dia adalah kesatria yang sakti mandraguna. Ditangannya diletakkan segala kuasa untuk menghidupkan dan mematikan, mengadakan dan meniadakan, merendahkan juga meninggikan. Nama Satrio Piningit ini sudah tersohor di seantero bumi.

Sekalipun memegang kekuasaan tertinggi di atas segala kerajaan, dan pedang keadilan selalu terselip di pinggangnya, kegemaran Satrio Piningit ini adalah menaburkan kedamaian. Mengajarkan pengampunan, juga menyulut cinta kasih di semua tempat.

Senang menjelajah dan berbuat kebaikan. Mencelikkan yang buta, menyembuhkan yang kusta, membuat yang timpang berjalan bahkan melompat. Dimana Satrio Piningit berada, disana tercipta banyak sekali keajaiban.

Maka Ratu Pertiwi mengutus para utusan untuk menjemput sang Satrio Piningit. Dan jawaban yang diberikan adalah,”Tunggu ya?! Masih banyak yang harus kukerjakan di sini. Aku pasti akan berkunjung ke kerajaan Ratu Pertiwi, jika semua urusanku di sini sudah selesai.”

Ratu Pertiwi bersabar menantikan kedatangan Satrio Piningit, sebagai sahabat dia sudah sangat mahfuz dengan kebiasaan Satrio Piningit yang selalu sibuk untuk menolong banyak orang. Ratu Pertiwi percaya Satrio Piningit pasti akan menolongnya.

Keriuhan kembali terdengar dari kamar Pangeran Persada, kini tangan kirinya berusaha memantik api membakar hati sang Pangeran. Sepuluh dayang yang merawatnya kewalahan menahan pemberontakan anggota tubuh Pangeran Persada.

Pesona Pangeran Persada seolah lenyap. Luka-luka ditubuhnya menebarkan bau anyir. Dan keperkasaannya menyusut dalam daging dan tulangnya. Erangan demi erangan keluar dari mulutnya. Suaranya makin pelan tak berdaya.

Ratu Pertiwi tak sanggup menyaksikan penderitaan puteranya. Namun dia tetap bersabar untuk merawat dan mendampinginya. Ratu Pertiwi hanya menjauh dari Pangeran Persada tatkala dia harus menghindari pukulan tak terkendali dari tangan dan kaki Pangeran yang masih juga ingin menggantikan kepala Sang Pangeran.

Dayang-dayang perawat istana banyak yang mengundurkan diri karena tak tahan dengan bau busuk tubuh Pangeran Persada. Kehidupan berkesenianpun terhenti. Tak ada lagu-lagu biduan yang lembut untuk melepaskan lelah dan kepenatan, tak ada musik yang ditabuh halus, tidak jua musik yang riang terdengar. Negeri Ratu Pertiwi senyap seakan tidak berpenghuni. Bau anyir tubuh Pangeran Persada membuat lumpuh semua aktivitas negeri. Seluruh rakyat memilih untuk berdiam diri di rumah. Membiarkan sawah, ladang, juga ternak terlantar.

Kemampuan Pangeran Persada untuk bertahan sudah sampai di titik nadirnya. Kini mulut-mulut di anggota tubuhnya tidak lagi berdaya untuk berteriak, tangan dan kakinya lunglai tak mampu lagi menendang ataupun menampar.

Dalam kesenyapan, sampailah Pangeran Persada pada takdir yang memutuskan untuk kembali ke haribaan Raja Semesta. Sedu sedan Ratu Pertiwi meledak memenuhi negeri, tangisan para dayang yang setia terdengar keras. Jantung kota seakan ikut berhenti bedenyut. Duka menggelayut, bendera perkabunganpun dikibarkan.

Di hari ketiga meninggalnya Pangeran Persada, datanglah rombongan Satrio Piningit di kerajaan Ratu Pertiwi. Melihat bendera perkabungan di seluruh negeri, mengertilah Satrio Piningit bahwa Pangeran Persada sudah tiada.

Maka bergegaslah Satrio Piningit menjumpai Ratu Pertiwi. Ketika dia bersama rombongan sampai di kerajaan, bersegeralah Ratu Pertiwi menemuinya. Tersungkur di kaki Satrio Piningit, melepaskan tangisannya di sana, dan berkata sendu,”Satrio, andaikata waktu itu kamu datang, pastilah dia sembuh. Kini semua sudah terlambat!”

Tidak ada kemarahan dari Ratu Pertiwi, dia menerima takdir Pangeran Persada dengan hati yang ikhlas. Keikhlasan Ratu Pertiwi, juga tangisannya meluluhlantakkan hati Satrio Piningit. Maka mengangislah Putra Tunggal Raja Persada, dengan lembut dibangunkannya Ratu Pertiwi dari sujudnya dan berkata,”Dimanakah kau makamkan dia? Aku mau membangunkannya!”

“Satrio, sudah tiga hari yang lalu dia meninggal, selain banyak luka di dalam jasadnya bukankah dia sudah membusuk dan pasti baunya sangat menyengat?”jawab Ratu Pertiwi

“Percayalah kepadaku, Ratu! Bukankah Ayahanda Raja Semesta sudah memberikan segala kuasa kepadaku? Bukankah dengan kuasa itu Aku sanggup mengadakan dan meniadakan? Menghidupkan dan mematikan bukanlah hal yang sulit bagiku. Bukalah kuburnya!” Perintah Satrio Piningit.

Adapun makam Pangeran Persada terbuat dari Goa Batu, ditutup batu besar untuk menghindari tercemarnya tanah pertiwi dari sakit aneh yang dideritanya. Juga tutup goa yang dari batu untuk menutupi bau busuk dari tubuh Pangeran Persada.

Maka Hulubalang memerintahkan para prajurit untuk mengangkat batu penutup makam itu. Para hadirin menutup hidungnya. Mereka ingin menyaksikan apakah Satrio Piningit mampu membangkitkan Pangeran Persada?

Kesangsian rakyat membuat Satrio Piningit masygul, namun rasa asih dalam hatinya membuat Satrio Piningit tetap melakukan tugasnya. Ketika kubur dibuka, dengan suara yang lantang dan berwibawa Satrio Piningit berkata,”Pangeran Persada, bangunlah!!”

Semesta diam, angin berhenti berhembus, burung-burung menghentikan kicauannya, senyap sejenak semua seakan tersentak mendengar suara yang penuh kuasa itu. Dan......terjadilah keajaiban, tubuh Pangeran Persada yang sudah hancur pulih seketika. Bau anyir dan busuk lenyap, dan Ruh pun datang kembali pada jasad yang sudah dipulihkan. Dengan kaki dan tangan yang masih terikat kain kafan, Pangeran Persada bangkit dari kematiannya.

Sukacita melanda, tempik sorak membahana di seluruh negeri. Kesenian hidup kembali, syair, sajak, lagu, musik, juga kegirangan memenuhi negeri pertiwi. Kembali Ratu Pertiwi bersujud di kaki Satrio Piningit.

“Segala Puji bagi Satrio Piningit, tak ada kata terlambat. Karena segala kuasa sudah berada ditangan Satrio Piningit!!”

Satrio Piningit tersenyum, berlalu dari Negeri Pertiwi, melanjutkan perjalanannya untuk menebar cinta, kedamaian, juga keajaiban di tempat-tempat lainnya.***

Ide cerita : Yohanes 11
Indonesia ini sudah sakit parah, ilmu politik, hukum, ekonomi, juga pengetahuan lain tidak akan pernah mampu menyembuhkannya.
Hukum yang carut marut tidak akan bisa dirapikan dengan peraturan yang lebih keras
Hukuman tidak akan membuat orang jera melakukan kesalahan
Hukum tidak mampu membawa orang insyaf dari kesalahan dan kedurhakaannya
Negeri ini tetap membutuhkan orang-orang pintar dan hukum yang jelas. Namun di atas semua itu negeri ini butuh dilawat oleh TUHAN sendiri. Negeri ini..butuh pendoa-pendoa yang militan.
Karena keinsyafan tidak bisa diciptakan oleh peraturan, keinsyafan datang ketika Tuhan melawat umat-umat-NYA.
Berhentilah mencela pempimpin negeri ini, berhentilah bekomentar seperti orang yang paling bijak.
Mulailah berdoa bagi kesejahteraan negeri yang saat ini kita diami. God Bless You All.